Oleh Vary Situmorang
Pekalongan, Kami Datang
Ntah apa yang membuat saya berani putuskan mengiyakan ajakan Om Roi untuk gowes lagi ke Dieng. Jika mengingat betapa capeknya pertama kali gowes ke sana dengan Om Roi dan Om Tito akhir tahun lalu, pastinya saya berpikir ulang…hahahahaha.
Tapi kali ini beda, semua serba cocok. Kebetulan Om Didik sebagai tuan rumah di Pekalongan sudah menyiapkan akomodasi, rute dan pengawalan logistik. Dan kebetulan juga sahabat saya Daniel kurang liburan, jadi ada kawan bisa berangkat bareng ke Pekalongan.
Tapi yang lebih menarik adalah rute via Kembang Langit ini kabarnya lebih menantang dan pemandangannya tidak kalah menarik dari rute via Wanayasa. Jumat, 7 Agustus selepas jam kantor berangkatlah saya Jumat sore dari Jakarta ke Pekalongan dengan Daniel sementara sahabat-sahabat saya yang lain sudah tiba di sana karena berangkat lebih dulu.
Setelah melewati rute yang cukup lancar malam itu melewati jalan tol Jakarta – Cipali dan keluar di pintu keluar kota Pekalongan Pukul 23.00. Agak lambat sampai karena kami memang sengaja tidak memacu kendaraan terlalu cepat dan beberapa kali ngopi di rest area.
Tiba di penginapan, Om Roi, Om Sani sudah beristirahat di kamar sebelah kamar kami. Kebetulan Om Tito satu kamar dengan saya dan Daniel. Selepas bercengkrama karena sudah lama juga tidak bersua setelah ekspedisi ke Dieng sebelumnya, saya pun bergegas mandi dan istirahat supaya besok pagi bugar.
Pagi Di Kota Pekalongan
Udara pagi Kota Pekalongan yang sejuk, menyapa segar di Sabtu pagi cerah. Membangunkan kami dari tidur lelap di peraduan penginapan yang sangat hommy milik kerabat Om Didik. Tanpa mandi dan hanya cuci muka, saya pun menyempatkan diri menyapa dan bercengkrama dengan kerabat Om Didik dan pengelola penginapan sembari sarapan sebutir telur rebus dan teh hangat.
Jam sudah menunjukan pukul 06.00 pagi, kamipun lantas bergegas menyiapkan sepeda, segala perlengkapan dan perbekalan. Sebelum memulai perjalanan, kami berdoa memohon keselamatan pada Yang Kuasa.
Sekitar pukul 06.20 saya dan rombongan mulai mengayuh santai ke arah selatan menyusuri jalan perkampungan asri khas Jawa Tengah. Deretan rumah permanan pedesaan mencerminkan pemerataan pembangunan di daerah ini. Diselingi kebun dan persawahan, dihiasi aliran sungai kecil bak hamparan permadani hijau kami reguk bercampur udara segar dan embun pagi sejenak melupakan carut-marut ibukota.
Di Belakang Temani Om Didik
Tak terasa mengayuh sembari bercengkrama ceria sejauh 20-an KM, tibalah kami di Bandar. Kecamatan yang sudah masuk wilayah Kabupaten Batang.
Perlahan tapi pasti jalan yang kami lalui mulai terasa menanjak. Dalam hati saya, perjuangan baru saja dimulai. Pada titik ini, saya mulai beranjak ke belakang barisan menemani Om Didik yang mulai tertinggal rombongan karena sepeda beliau bukan peruntukan untuk rute menanjak meskipun semangat beliau luar biasa.
Mobil logistik juga belum terlihat, saya kuatir Om Didik di belakang tidak aman kalau sendirian meskipun beliau berulang kali menyuruh saya tetap di depan dengan rombongan. Untung saja tak lama berselang muncul mobil double cabin Om Burhan dan mobil Daniel di belakang. Saya lega, setidaknya Om Didik sudah lebih aman bila di belakang rombongan.
Di Bandar
Tanjakan pertama Bandar terlihat pun sangat menggoda, menyapa kami lurus teruntai terjal. Konon kabarnya di tanjakan ini banyak kendaraan truk tidak kuat menanjak dan kembali meluncur mundur. Sesekali Om Burhan dan istri Om Didik lewat memfoto kami dan memberi semangat.
Di ujung tanjakan kami sempat berhenti sejenak menurunkan heart rate. Om Burhan dan istri Om Didik menyuguhi kami pisang dan gula jahe di bawah pepohonan. Benar-benar spot yang sempuna untuk rehat.
Sikembang Blado
Perkebunan kopi dan teh beriring rindangnya pepohonan pinus di area Sikembang Blado dengan jalan meliuk menanjak kemudian menjadi suguhan menambah kenikmatan dan kekaguman akan jagat raya ciptaanNya. Memasuki perkebunan teh Kembang Langit, jalanan menanjak sebagian berbatu menyambut kami untuk ramah disapa.
Tanjakan ini cukup technical karena sepeda yang saya, Om Roi dan Om Sani gunakan yaitu sepeda lipat dengan ukuran ban 20 sampai dengan 22 inchi dengan profil halus.
Gradien yang cukup lumayan terjal ini kami harus lewati dengan konsentrasi antara mengatur nafas dan handling berusaha tetap seimbang jangan sampai terpeleset batu-batu besar. Di ujung jalan rusak ini kami kira tanjakan sudah berakhir untuk segmen ini, ternyata tidak.
Kami masih disuguhi lagi tanjakan lanjutan jalan beton meliuk membelah hutan lindung Kembang Langit dengan pepohonan rindang menaungi seolah lorong hijau. Aroma segar pepohonan sejuk diiringi suara serangga khas hutan bagaikan paduan suara merdu lebih indah dari lagu-lagu MP3 yang saya dengar dari tadi sepanjang jalan dari headset mobile phone saya.
Pak Trisno Yang Bersahaja
Tibalah kami di perkampungan dengan jalan agak rata dan terlihat sebuah warung kopi di sebelah kiri jalan dengan penataaan yang cukup bergaya warung kopi di kota-kota besar. Sambil berkelakar dengan Om Roi, terbesit keinginan secangkir kopi pahit hangat.
Pasti menambah tenaga buat lewati tanjakan-tanjakan berikutnya yang kelihatannya makin terjal. Namun sayangnya, warung kopi itu belum buka. Meski agak kecewa, perjalanan pun kami lanjutkan. Di tengah perjalanan seorang pengendara motor mendatangi kami dari arah berlawanan.
Bapak separuh baya itu menyapa “Ini tamunya Pak Didik ya?” Kami mengiyakan pertanyaan tersebut seraya berpikir mungkin perhentian pertama sudah cukup dekat. Ternyata setelah kurang lebih 30 menit mengayuh menanjak, ternyata perhentian itu tidak kunjung sampai juga. Malah yang ada tanjakan semakin curam dan panjang.
Untungnya perut juga belum terlalu lapar, meskipun persediaan air sudah menipis. Dari kejauhan mobil double cabin Om Burhan tampak berhenti di pinggir jalan tanjakan yang dihiasi umbul-umbul merah putih rapih berjajar rapih selayaknya pagar betis hajatan.
Terlihat bapak yang tadi menyapa kami di jalan, memberikan salam di ujung tangga rumah panggung nan asri. Pak Trisno namanya, beliau menyambut hangat mempersilahkan kami masuk rumahnya yang berteraskan kolam ikan nila berhiaskan aneka taman hias dan paranet di atasnya menambah kesejukan. Ternyata beliau masih kerabatnya Om Didik.
Kami pun bergegas memberi salam dan ijin masuk sebagai tamu, melepas sepatu dan membasuh tangan air di keran air di depan rumah beliau.
Ternyata di dalam rumah sudah terhidang beraneka makanan seperti singkong rebus, pisang rebus, jeruk, ikan nila goreng, tempe goreng, sambal, sayur asam dan lalapan segar.
Di bagian pinggir suguhan tampak jejeran teko kopi dan teh khas Kembang Langit. Saya sempat mencicipi kopi khas Kembang Langit yang ternyata aroma dan rasanya luar biasa. Jenis kopi arabika lokal yang musim panennya hanya setahun sekali ini diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan aroma khas yang sungguh nikmat.
Dari percakapan dengan Pak Trisno, ternyata beliau cukup lama pernah bekerja di perkebunan teh Pagilaran. Perkebunan teh Pagilaran konon dibuka tahun 1880 sejak jaman kolonial Belanda.
Nampaknya beliau sangat paham pengolahan kopi dan teh. Menurut saya ini salah satu kopi dengan cita rasa terbaik selama saya berkelana di berbagai daerah Indonesia. Satu hal yang tak kalah nikmat adalah suguhan ikan nila goreng berserta sambal dan lalapan segar. Ikan nila segar digoreng kering sehingga terasa gurih dan garing. Sungguh suatu pengalaman kehangatan kesederhanaan masyarakat lokal dan kenikmatan kuliner kekayaan alam lokal yang tak terlupakan.
Desa Gerlang
Setelah mengisi kembali persediaan air masing-masing, kami pun pamit dan melanjutkan perjalanan ke menuju Desa Gerlang yang desas desusnya punya tanjakan lebih kejam dari rute Blado yang sudah kami lewati. Menyusuri menanjak melewati beberapa rumah warga tertata apik di sisi kiri kanan jalan desa.
Ternyata benar saja, setelah melewati Forest Kopi, terlihat tanjakan terjal meliuk ke kiri. Apa boleh buat, dengan gear paling ringan kami berempat mencoba menikmati tanjakan berbentuk huruf “S” dengan kondisi jalan juga hanya sebagian beton dan bebatuan.
Lanjut memasuki hutan lindung, kami sempat berhenti sejenak sambil menunggu Om Sani yang masih di belakang kami berjuang meniti terjal. Daniel sempat berujar ini sudah ketinggian sekitar 1600 MDPL dan kabut sudah mulai turun.
Om Sani di belakang perlahan muncul mengayuh diiringi kabut dan sorakan kami menambah semangat beliau. Perjalanan kami lanjutkan meniti tanjakan serasa tiada akhir dan semakin terjal saja rasanya.
Dari kejauhan nampak rute menukik tegak melingkari pekebunan di Desa Gerlang dengan kondisi aspal kasar bahkan sebagaian batu lepas menanti. Kamipun berhenti sejenak untuk ambil ancang-ancang serta mengatur nafas.
Sambil berhenti minum sejenak, kami memperhatikan satu persatu mobil yang lewat menanjak jalan itu. Semua mobil yang lewat menyisakan suara mesin meraung seakan berusaha merayapi tiap jengkal permukaan rute sadis ini. Untungnya nyali kami tidak ciut, justru ini menarik untuk dilalui.
Sepuluh menit berlalu, kami putuskan untuk lanjut. Om Tito di depan, saya dan kemudian Om Roi serta Om Sani melaju perlahan menanjak. Posisi badan yang nyaris rata dengan handlebar sambil mengimbangi roda depan yang beberapa kali mulai terangkat.
Hal ini sungguh menguras tenaga sementara jantung bekerja semakin keras saat badan membungkuk. Di tengah tanjakan, kami bertemu Om Octav menyusul. Sungguh kejutan dan senang sekali bertemu beliau. Suasana lebih ceria di tengah perjuangan melewati rute tanjakan ini.
Kami berhenti sejenak berfoto dengan Om Octav dan beberapa ibu-ibu petani yang pulang dari kebun. Perjalanan pun kami lanjutkan mengayuh perlahan melewati rute meliuk terjal menanjak serasa tiada akhir. Di sebelah kiri terlihat kabut berarak menuruni langit menuju pedesaan di lereng bukit, seakan berada di negeri diatas awan.
Rute makin makin menggila, tapi kami tidak terasa lelah karena terbayar pemandangan luar biasa ini. Diujung tanjakan terlihat jembatan dan beberapa rumah, artinya sebentar lagi kami memasuki ujung Desa Gerlang.
Terlihat di sebelah kiri mobil Toyota Avanza hitam bernomor polisi Jakarta berhenti karena mogok disebabkan overheating. Para penumpang mobil itu keluar sambil sempat berfoto dan menyapaku, saya pun membalas sambil tersenyum “Saya juga dari Jakarta kok Pak.”
Di ujung gapura desa sudah terlihat Om Roi, Om Burhan dan Daniel menunggu di sisi jalan. Sementara Om Tito sudah menghilang entah kemana. Saya pun berhenti sejenak menunggu Om Sani dan Om Didik di belakang.
Sambil bercengkrama, pandangan mata saya tertuju pada rumah-rumah permanen desa yang tertata apik menandakan kemakmuran warga yang mayoritasnya merupakan petani kentang. Nampak pula mobil truk berhenti di tepi jalan desa sedang dimuati kentang untuk dijual di kota-kota sekitar Jawa Tengah.
Tanjakan Mbaris
Selepas istirahat sejenak, kamipun beranjak melanjutkan perjalanan ke Bukit Sikendil melewati jalan yang kondisinya relatif lebih mulus dan tanjakannya pun tidak terlalu berat membuat kami merasa lebih bersemangat dan ceria memasuki jalan ini. Setelah melewati puncak bukit, terlihat jalan sudah semakin menurun.
Sambil recovery, sepeda kami pacu hingga kecepatan 45 km/jam meliuk turun hingga persimpangan ke arah Batur. Sesampainya di Batur, perut mulai terasa lapar lagi. Rasanya semua makanan yang saya santap tadi di rumah Pak Trisno langsung lenyap tak bersisa di perut saya, terhisap habis di tanjakan Desa Gerlang.
Melewati kota Batur, nampak jejeran rumah makan tradisional seolah menyapa untuk berhenti sejenak dan bersantap.
Apalagi teringat pagi tadi Om Burhan sempat bercerita ada makanan enak di Batur, saya pun sempat berhenti dan bertanya pada teman-teman mau berhenti untuk makan atau lanjut?
Merekapun berkata untuk lanjut saja dan makan nanti di Dieng. Dengan kayuhan agak lemah, saya pun melanjutkan melewati rute turun dan naik tipikal khas pegunungan Dieng.
Om Tito disamping saya berkelakar, “Mudah-mudahan kita gak lewat tanjakan Irung Petruk ya Om Vary.” Saya menyahut, “Iya Om…soalnya saya juga udah agak lemes nih.”
Sepeda saya kayuh sudah dengan gear yang agak ringan supaya tidak telalu menguras tenaga. Dan benar saja, Om Tito berujar “Waah ini dia tanjakannya.” “Ya ampun…!” jerit saya dalam hati. Dengan tenaga tersisa, saya pun mencoba tetap mengayuh. Di tengah tanjakan sayapun berhenti sejenak mengatur nafas dan lanjutkan lagi sekuatnya.
Terlihat Om Tito dan Om Roi tetap mengayuh beriringan pelan melewati tanjakan maut ini. Menjelang tikungan tajam, saya pun putuskan berhenti dan menuntun sepeda hingga ujung tanjakan. Istri Om Didik terlihat sudah menunggu kami di sana, mengamati barangkali salah satu dari kami perlu bantuan.
Dengan napas terengah sampai juga saya di ujung tanjakan yang belakangan baru saya tahu terkenal dengan nama tanjakan Mbarisan itu sambil memandang ke bawah mencari Om Sani dan Om Didik yang masih di belakang. Di kejauhan nampak Om Sani dan Om Didik masih berjuang mendaki tanjakan ini.
Dengan susah payah mendorong sepeda, sampai juga Om Sani dan Om Didik di ujung tanjakan. Sungguh semangat juang yang luar biasa dari mereka berdua.
Pisang Rebus dan Gula Jahe
Selepas tanjakan, terlihat mobil Om Burhan dan Daniel di sisi kiri jalan. Perlahan saya berjalan menuju mereka untuk berhenti sejenak di tengah tenaga makin lunglai.
Sambil bercengkrama dan bercanda, saya sempatkan makan pisang rebus yang dibawa dari rumah Pak Trisno dan sepotong gula jahe oleh-oleh khas Dieng yang dibawa oleh istrinya Om Didik.
Menu ini sempat saya tolak pada perhentian pertama di Bandar. Berhubung lapar yang sangat, saya lahap pisang rebus sambil gigit gula jahe. “Astaga! ini enak banget” ujar saya. Tak terasa empat potong pisang rebus saya lahap sudah.
Duduk santai sejenak melepas lelah di atas potongan kayu di pinggir jalan sambil menatap hamparan kebun sayur di lembah Batur. Sementara jam sudah menunjukan pukul 15.30, kami lanjutkan perjalanan dengan menyisakan satu tanjakan yang tidak kalah terjal dari tanjakan Mbarisan tadi.
Tapi sebelum lebih jauh, beberapa dari kami hendak sholat Ashar. Maka kamipun mencari masjid di sekitar perjalanan. Tak begitu jauh, nampak di sebelah kanan masjid yang cukup besar.
Kami pun putuskan untuk berhenti sejenak untuk sholat. Saya dan Om Roi yang tidak menjalankan sholat menunggu di pelataran masjid.
Sesudah Om Didik, Om Sani dan Om Tito selesai menjalankan sholat, saya dan Om Roi masuk ke toilet pria untuk membasuh kaki. Itu dingin air membasuh betis seakan menyeka asam laktat di kedua betis yang mencengkram sepanjang jalan tadi perlahan sirna.
Tanjakan Menara BTS
Fisik serasa bugar kembali, saya pun siap lanjutkan perjalanan. Kemudian Om Roi, Om Tito, Om Sani dan Om Didik lebih dulu keluar dari masjid melaju perlahan meniti tanjakan panjang pamungkas menuju Dieng.
Sambil mengatur napas dan menjaga stabilitas kayuhan, saya pelan menyusul paling belakang. Dari kejauhan nampak menara BTS provider telekomunikasi berdiri angkuh menyambut.
Seakan gapura terpancang megah pertanda pintu masuk negeri para dewa dataran tinggi Dieng. Tak terasa kayuhan perlahan tanpa henti dengan energi baru mengantarkan saya pada akhir tanjakan. Lalu saya berhenti sejenak menunggu Om Sani di belakang.
Sembari menunggu, teringat anak dan istri di Jakarta untuk setidaknya berkabar. Saya pun menyapa anak dan istri lewat video call melepas rindu, menenangkan mereka bahwa saya baik-baik saja.
Dieng Negeri Para Dewa
Sekitar sepuluh menit berlalu menunggu, Om Sani perlahan terlihat muncul di punggung tanjakan. Beliau terlihat lelah tapi tetap bersemangat. Setengah bercanda, saya dan Om Roi memotivasi beliau bahwa tinggal dua tanjakan pendek di depan, setelah itu kita sampai di Dieng.
Tak lama perjalanan kami lanjutkan, ternyata masih ada tiga bukan dua tanjakan. Ini yang membuat Om Sani dalam nada bercanda sedikit marah ke Om Roi.
Di sebelah kiri jalan tampak papan nama PLTP Dieng, artinya setelah tanjakan di depan kantor perusahaan pembangkit tenaga listrik tenaga panas bumi ini kami sudah tiba.
Gugusan asap putih uap panas yang keluar dari perut bumi menyeruak di bukit sebelah kiri kami laksana permadani negeri para dewa. Alam dengan kebijakannya menyuguhkan manfaat sebesarnya bagi kehidupan manusia, sementara manusia lebih banyak membalas kebaikan alam dengan sebaliknya. Dalam kerendahan hati serta bersyukur pada kemurahan Tuhan, kami tiba di Dieng.
Negeri para dewa, konon kabarnya cikal bakal berdirinya Wangsa Mataram Kuno (Sanjaya dan Syailendra) yang mencapai puncaknya pada abad ke-8.
Dieng berasal dari bahasa Sansekerta “Di” yang artinya tempat yang tinggi atau gunung dan “Hyang” yang artinya leluhur atau dewa-dewa. Namun kini menjadi kota kecil dengan ketinggian 2000 MDPL yang marak dengan penginapan-penginapan degan harga terjangkau dan beberapa warung kopi ala kota di kiri kanan jalan.
Rute Kelewat Terjal Dari Dieng Ke Pekalongan
Jam masih menunjukan pukul 17.30 sore, kami hanyut dalam kegembiraan karena tiba di Dieng dengan selamat. Beberapa kali masing-masing kami selfie di tugu Dieng sebagai kenang-kenangan dan untuk konten di media sosial masing-masing.
Setelah puas dan membeli oleh-oleh seadanya, kami pun putuskan kembali sore itu juga ke Pekalongan tanpa makan malam di Dieng, karena takut kemalaman nanti.
Om Burhan bilang, nanti kita makan malam di Bawang saja. Dengan perut agak lapar karena hanya diisi pisang rebus di ujung tanjakan Mbaris tadi, saya lanjutkan perjalanan pulang bersama teman-teman ke Pekalongan via Bawang.
Karena saya pikir, gowes jalan menurun tidak memerlukan banyak energi dibanding gowes menanjak. Om Didik di depan memimpin rombongan turun ke arah PLTP Dieng, kemudian berbelok ke kanan setelah SPBU.
Jalan menurun membelah kampung dengan rumah-rumah yang cukup rapat, agak keliatan gelap ditambah lagi kabut sudah mulai turun. Udara dingin mulai terasa memaksa masuk pori-pori jersey kami.
Sejenak kami berhenti untuk menyalakan lampu depan dan belakang sambil merapatkan resleting jersey dan manset.
Dari kejauhan uap panas dari sumur panas bumi makin menyeruak di ujung bukit dari jingga lampu penerang. “Aaagh…! Masih ada tanjakan lagi rupanya” ujarku sambil bercanda. Om Burhan dengan tenang berujar, “Habis ini udah turunan semua kok ke Bawang.”
Kata-kata yang menyejukan hati di tengah kami sudah lelah dan “ogah” ketemu lagi dengan tanjakan. Beberapa anak muda dengan tas carrier terlihat perlahan berjalan mendaki di jalan yang sama.
Tampaknya mereka hendak mendaki dan berkemah di sekitar situ. Dengan sisa tenaga yang ada, sampailah kami di ujung tanjakan tepat di samping sumur panas bumi PLTP Dieng yang dipagari rapih.
Di ujung jalan ternyata ada persimpangan ke kiri dan ke kanan. Om Burhan sebagai penunjuk jalan sempat bingung, tapi untungnya ada warga yang lewat dari sisi jalan sebelah kanan.
Om Burhan dengan bahasa Jawa menanyakan orang itu mana jalan yang benar menuju Bawang. Orang itu pun bilang, lewat jalan yang kanan jalan yang benar sebagian sudah dicor tapi sebagian juga masih makadam.
Awalnya kami sempat ragu dan niat balik lagi ke jalan raya dan turun lewat Kembang Langit. Teringat nanti akan ada tanjakan lagi di Bukit Sikendil, maka kami putuskan untuk tetap lewat jalan ke kanan itu meski lewati beberapa bagian jalan yang masih makadam.
Dengan lampu seadanya, kami coba turuni jalan yang berbatu dan kira-kira 30 meter nampak ujung jalan yang baru saja beberapa hari lalu dicor dengan pasir yang masih berserakan.
Om Didik kebetulan tidak membawa lampu sama sekali, saya minta Om Didik di belakang saya supaya agak terang kelihatan jalannya. Pelan-pelan kami turuni jalan beton gelap terjal dengan pasir yang sangat licin. Jalan sangat terjal meliuk ke kiri, di sebelah kanan kami jurang dalam.
Saya di depan berteriak ke belakang supaya Om Roi dan Om Sani berhati-hati. Mobil Om Burhan dan mobil Daniel berjalan berlajan beriringan menerangi Om Roi dan dan Om Sani di belakang.
Om Tito di paling depan, saya dan Om Didik menyusul di belakangnya. Jalan ini memang cocok dengan tipikal sepeda MTB yang Om Tito dan Om Didik pakai. Sebaliknya sangat menyiksa bagi sepeda lipat yang saya, Om Roi dan Om Sani pakai.
Dengan perlahan saya tetap menaiki sepeda sambil menuruni jalan makadam setelah jalan beton yang hanya beberapa meter saja awalnya.
Pada beberapa bagian jalan, batu-batunya kelewat besar untuk dilalui. Terpaksa saya turun dari sepeda dan menuntun, karena berbahaya bila slip bisa masuk jurang di kanan yang gelap pula. Sesudah beberapa puluh meter lewati jalan makadam, saya sempat berhenti menanyakan ke Om Burhan kira-kira masih berapa jauh lagi jalan makadam ini.
Beliau pun ragu-ragu menjawab, jadi okelah kita lanjutkan sekuatnya karena kalau mau balik lagi ke Dieng sudah jauh dan tanjakannya sangat terjal pula. Saya sejenak menoleh ke belakang memastikan Om Roi dan Om Sani di belakang baik-baik saja.
Terlihat mereka berdua menuntun sepeda sambil bersenda gurau disorot lampu terang mobil Om Burhan dan Daniel berjejer. Sesudah kira-kira 700 meter menuruni jalan makam kejam, Om Tito di depan merujar “Udah jalan beton nih.” Naah, saya pikir selesai juga nih penderitaan jalan makadam. Ternyata jalan beton yang dimaksud, jalan sebagian yang dicor sebagian saja dan sudah mengelupas.
Turunannya tidak kalah terjal pula dari sebelumnya. Di ujung tikungan tajam, saya berhenti sebentar untuk ingatkan Om Didik berhati-hati sambil menunggu Om Roi dan Om Sani jauh di belakang. Setelah lampu mobil mulai terlihat, saya dan Om Didik pelan-pelan lanjutkan perjalanan menurun.
Di sisi kanan dan kiri mulai nampak hamparan kebun kentang meskipun gelap terlihat. Di penghujung jalan mulai nampak bangunan seperti sekolah yang gelap tanpa penerangan sama sekali. Di bagian jalan yang agak rata, saya menepi menunggu lagi rombongan di belakang.
Selang sekitar 2 menit, Om Didik lewat sambil bilang “Om Roi jatuh tuuh.” “Waduuuuh…!” sahut saya, bergegas saya kembali ke atas dan mendapati Om Roi sedang menuntun sepeda pelan-pelan. “Om Roi gak apa-apa?” saya bertanya. “Udah…gak apa-apa kok cuma kepleset batu aja” sahutnya. “Ada yang luka Om? Saya bawa Betadine nih” saya balik bertanya. “Gak apa-apa, masih aman” sahutnya lagi.
Syukurlah lukanya tidak parah, tapi kami behenti beberapa menit di depan bangunan sekolah yang gelap itu. Mendadak di balik pagar sekolah muncul sosok, ternyata penduduk sekitar. “Waah…syukurlah,” masih ada tanda-tanda kehidupan di sini, dalam hati membatin.
Om Burhan dengan sigap menghampiri orang itu menanyakan berapa jauh lagi jalan makadam ini dan sejauh apa kampung terdekat. Orang itu ternyata habis memancing ikan di belakang sekolah sendirian. “Gila juga gelap-gelap begini mancing sendirian di situ,” pikir saya.
Tak lama orang itu pun berpamitan naik motor ke arah jalan desa yang dia tunjukan. Di kejauhan terlihat lampu motornya merayap menanjak. Om Tito lantas berujar “Liat tuuuh…tanjakan lagi di atas sana.” Saya pun tertawa sambil berujar “Sabaaar Om.”
Jalan masih berbatu dan gelap perlahan menanjak, di sebelah kanan terlihat lembah dan lampu-lampu kota Wonosobo tanda peradaban nan jauh di sana. Mendadak kangen dengan mie ongklok, makanan khas Wonosobo. “Ah…sudahlah, lain kali ke kota itu” ujar saya dalam hati.
Setelah mengayuh teratih tanjakan terjal berbatu, jalan berbelok ke kiri dan mulai menurun beberapa ratus meter. Mulai terlihat ujung kampung dan kerlip beberapa lampu rumah warga. Lega rasanya ketemu lagi jalan yang setidaknya lebih beradab.
Tidak beberapa jauh jalan kampung kami lewati, nampak jalan menanjak cukup terjal lurus ke kanan. Om Tito di depan saya tetap melaju menanjak perlahan, saya berhenti sejenak menunggu Om Didik di belakang di sisi kiri jalan yang kebetulan ada bangunan kecil.
Ternyata itu toilet desa, yang cukup bersih kelihatannya. Kebetulan sekali saya memang dari tadi menahan buang air kecil. Om Didik tidak lama kemudian muncul, saya tawarkan beliau “Ada toilet nih Om, mau buang air kecil dulu?” Cahaya lampu mobil mulai muncul di ujung jalan, artinya Om Roi dan Om Sani sudah dekat. Tidak lama mereka pun lewat, Om Didik lanjut menanjak.
Sementara Om Sani berhenti sejenak di toilet desa itu. “Om Sani istirahat dulu aja” ujar saya. “Gilaa…tanjakan lagi!” seru beliau. “Udah, Om berhenti dulu tenang di sini” sahut saya.
Sekitar 3 menit berlalu, saya pun dan Om Sani lanjut mendaki tanjakan itu. Portal bambu mulai kelihatan, artinya sudah di ujung kampung. Lega juga, dan mulai terlihat warung-warung dengan penerangan seadanya menyapa “Mampir Om”. Di sebelah kanan meskipun gelap terlihat lembah luas, dalam hati saya berujar apakah ini yang namanya “tol di atas awan” yang sedang trending di media sosial?
Nampaknya benar, setelah saya dapatkan konfirmasinya dari pedagang kelapa muda di ujung pertigaan jalan di tenda dengan penerangan seadanya.
Heran juga, kenapa malam begini masih ada yang jualan kelapa muda. Tapi memang rejeki kami, dahaga lelah dan frustasi melewati jalan ekstrim tadi terobati dengan kelapa muda. Kami duduk di pinggir jalan menikmati segarnya air kelapa muda dan isi kelapa. Sesekali lewat truk sayur turun dengan suara mesin menderu nyaring karena engine brake. Om Burhan berkali berujar pada kami, “Hati-hati ya nanti pas turunan! Ini turunannya terjal banget lho.”
Makanya tidak heran truk-truk sayur yang tadi lewat sambil engine brake. “Beberapa waktu lalu, ada kecelakaan mobil Fortuner baru nabrak pohon di turunan di bawah sana lho” ujar Om Burhan lagi. Dalam hati saya, “Waah ini kayanya serius ekstrim nih turunannya.”
Sebelum lanjut turun, saya kembali memeriksa rem sepeda, lampu depan dan belakang. Kami pun bergegas turun beriringan menyusuri turunan beton meliuk terjal. Perlahan adrenaline semakin berpacu dengan jantung, apalagi rem sepeda saya paling berisiko diantara peserta lainnya karena masih konfensional tipe v-brake.
Apalagi pada beberapa touring sebelumnya sudah 3 kali pecah ban belakang karena rem terlalu panas. Beberapa kali ditemui tikungan tajam menurun membuat kami makin ekstra hati-hati. Sayup-sayup terdengar rem Om Didik berdecit di belakang saya. Mungkin karena sudah terlalu panas.
Sampailah di jalan agak mendatar di ujung turunan panjang pertama, kami berhenti sejenak sambil menyiram disc brake masing-masing. Cessss…suara mendesis terdengar beriringan dengan asap putih nampak dari masing-masing rem sepeda Om Sani, Om Roi dan Om Didik setelah disiram air mineral.
Beberapa menit kami berhenti sambil membiarkan rem agak dingin. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya minta mobil Daniel di depan kami supaya pencahayaan jalan lebih baik. Perjalanan kami lanjutkan, melewati kawasan hutan gelap dengan jalan turunan terjal sebagian berbatu dan tikungan-tikungan tajam.
Empat kali kami berhenti untuk siram rem lagi. Saya di paling depan, tercium aroma kanvas rem mobil Daniel. Di ujung jalan yang sudah agak datar dan masuk perkampungan, mobil Daniel berhenti. Saya menghampiri Daniel sementara yang lainnya menunggu di persimpangan jalan. “Rem mobil gue panas Bro” ujarnya.
Ternyata indikator suhu ban belakang mobilnya sudah menunjukan 70oC. “Udah tenang dulu Bro, biarin dingin dulu” ujar saya. Setelah cukup aman, kami lanjutkan perjalanan dengan jalan agak datar dan menurun ke kota Kecamatan Bawang. Jam menunjukan pukul 21.30, pas di tengah kota kami pun berhenti untuk istirahat sejenak dan makan di rumah makan di sisi kanan jalan.
Busyett. 200 Seli Element Terjual Dalam 40 detik Saja di Tokped!
Ugal-Ugalan Malam
Menu ayam goreng, ikan goreng, lalapan, sambel dan sayur gori (nangka muda) khas daerah Bawang kami lahap sekejap karena lapar. Sesudah istirahat sejenak menyuruput minuman hangat sambil bercanda melepas lelah, kami lanjutkan perjalanan ke arah Alas Roban, Batang.
Mobil Daniel kembali di posisi paling depan dan mobil Om Burhan di paling belakang, kami beriringan kembali menyusuri jalan menurun. Kali ini kondisi jalan cukup lebar, mulus dan sepi. Pas sekali untuk dilibas, apalagi perut juga sudah cukup terisi energi baru. Jalan mulus menurun melewati perkampungan dan kebun-kebun sepi kami lalui dengan kecepatan hingga lebih 50 km/jam.
Cukup nekat mengingat kondisi gelap dan baberapa kondisi jalan berlubang. Tapi sudahlah, kami pun nekat memacu adrenaline sambil ugal-ugalan sebagai bonus melepas frustasi menuruni jalan ekstrim sebelumnya. Beberapa kali saya coba melewati polisi tidur dengan lompatan kecil bunny hop supaya lebih seru.
Tanpa terasa, kami pun tiba di penghujung jalan raya Alas Roban di Kabupaten Batang. Kondisi saat itu sudah mulai larut, jam menunjukan pukul 22.30. Sementara jarak ke Kota Pekalongan masih sekitar 40 KM lagi.
Terlihat Om Sani berhenti menepi sambil memegang betisnya. Ternyata beliau kram kakinya saat ugal-ugalan turun tadi. Dengan pertimbangan kondisi keselamatan bersama mengingat kondisi jalan yang ramai dengan kendaraan besar di jalur pantura di malam hari akan sangat berbahaya. Kami putuskan untuk evakuasi dengan mobil Daniel dan Om Burhan. Perjalanan ini sudah kami akhiri dengan baik dan selamat.
Suatu pengalaman perjalanan yang mengesankan, melampaui keterbatasan kondisi sepeda dan fisik kami. Perjalanan spiritual ke Dieng, “Negeri Para Dewa” yang mengingatkan kembali pada kebaikan Yang Maha Kuasa akan hidup kami.