19/03/2024

Di Puncak Tanjakan Simego

Menuju Pulau Dewata Bali

Sebenarnya ide ini sudah lama tercetus dalam benakku dan menjadi salah satu daftar keinginan yang pantas diwujudkan. Bukan mencari sensasi ataupun ingin dibilang hebat.

Sekitar akhir bulan Agustus lalu ketika bersama-sama Om David dan Om Franks bersepeda blusukan ke tanjakan Babinsa, suatu tempat di seputaran Cisauk, Kabupaten Bogor yang cukup terkenal di kalangan pesepeda.

Epic Ride, Gowes Naik Seli Menuju Dieng Negeri Para Dewa

Saat itu saya sempat berkelakar pada mereka berdua mengajak bersepeda dari Jakarta ke Bali. Ternyata ajakan ini disambut serius dan antusias sekali. Beberapa hari kemudian kami membuat grup Whatsapp untuk membahas lebih matang rencana ini.

Kami tergabung dalam Cyclopath Community, suatu komunitas pesepeda yang terbentuk pada tanggal 27 Juli 2019. Berawal dari grup WA yang terdiri dari para peserta touring gowes dari Jakarta menuju Pantai Sawarna via Pelabuhan Ratu. Komunitas ini beranggotakan para pesepeda yang hobi bersepeda jarak jauh dan terbuka bagi siapa saja tanpa melihat latar belakang suku, agama, usia serta merk dan jenis sepeda.

Singkat cerita, setelah mengajak beberapa rekan yang kira-kira berminat ikut. Kami kemudian membahas lebih detail rute dan waktu. Lantas disepakati tanggal 16 Oktober kami akan gowes dari Jakarta menuju Bali melewati jalur Pantai Utara Jawa dan memotong ke Jalur Lingkar Selatan melewati dataran tinggi Dieng dan Kota Yogyakarta.

Alasan mendasar kami memilih rute yang relatif lebih sulit ini via dataran tinggi Dieng karena kami ingin lebih menikmati pemandangan. Menjelajah Dieng dari Kota Pekalongan melewati rute Petungkriyono menjadi pilihan yang menarik. Mengingat sebelumnya kami telah menjelajah Dieng via Wanayasa, Kembang Langit dan Bawang.

Kabar dari teman-teman komunitas lain, rute ini sangat menarik karena banyak air terjun di sepanjang jalan. Ini juga menjadi alasan lain kami pilih rute ini. Rute Pantai Selatan Jawa menuju Banyuwangi sejak dulu memang terkenal dengan pemandangan yang menarik dengan hamparan gugusan bebatuan purba di Wonosari dan Pacitan. Apalagi ditambah indahnya rute Piket Nol di Lumajang dan Alas Gumitir di Banyuwangi. Dengan total jarak tempuh kurang lebih 1350 km, target kami bisa tiba di Bali tanggal 22 Oktober. Lalu tanggal 23 Oktober kami bisa beristirahat sejenak di Bali. Dan tanggal 24 Oktober kami akan kembali ke Jakarta.

Kurang lebih dua bulan waktu yang cukup untuk kami mempersiapkan perjalanan ini. Grup whatsapp mulai ramai dengan pembahasan dari daftar perlengkapan apa saja yang perlu dibawa hingga konfigurasi tas sepeda serta spesifikasi grupset bahkan ukuran ban yang sesuai dengan rute dan karakter bersepeda masing-masing peserta.

Untuk semakin memantapkan lagi, maka tanggal 2 sampai 3 Oktober kami sepakat untuk pemanasan dengan menu gowes dari Jakarta menuju Sawarna melewati perkebunan Cianten di Pegunungan Salak Halimun, Jawa Barat.

Dan kembali ke Jakarta melewati Malimping dan Rangkasbitung, Banten. Banyak hal yang masing-masing peserta dapatkan dari perjalanan Jakarta ke Sawarna pulang pergi ini. Mulai dari salah pemilihan jenis sepeda hingga pelajaran saddle bag yang ternyata tidak anti air dan sebagainya. Waktu dua minggu cukup buat kami untuk mengoreksi apa saja yang masih salah dan kurang pas. Bahkan Om Jay sampai harus membeli sepeda baru supaya lebih mumpuni dan lebih nyaman untuk perjalanan jauh ini. Dalam hal ini, pertimbangan dan persiapan yang matang sangat menentukan kelancaran perjalanan.

Tanggal 15 Oktober, H-1 kami harus sudah pastikan kondisi fisik, kondisi sepeda dan segala perlengkapan sudah dipersiapkan dengan baik. Sabtu tanggal 16 Oktober pukul 06.00 kami semua sudah kumpul di FX di seputaran Senayan dan siap untuk memulai perjalanan didahului dengan briefing lalu berdoa memohon kelancaran dan keselamatan. Om Yabo, Om Yudi serta sahabat-sahabat kami lainnya ternyata datang untuk memberi semangat dan menemani kami hingga Cikampek. Om Toto dan Om Praba menunggu kami nanti di seputaran Kalimalang, Bekasi. Rencananya mereka lanjut hingga rumah makan Sate Maranggi di Purwakarta dan kembali ke Jakarta.

Tim saat akan berangkat dari FX

Hari masih terasa sejuk ketika kami perlahan menyusuri jalan-jalan ibukota menuju timur Pulau Jawa melewati Kalimalang dan Bekasi untuk sejenak teralienasi dari hiruk pikuk kesibukan Jakata.

Sepeda kami pacu secepat mungkin sebelum hari terlalu panas meninggalkan keangkuhan gedung-gedung pencakar langit ibukota. Wilayah Bekasi dengan beberapa pasar tradisional yang mulai ramai setelah meredanya pandemi Covid 19, namun kami lewati dengan tetap berhati-hati.

Beruntung masih ada sedikit ruang tersisa di ruas jalan untuk kami tetap menjaga jarak aman dengan kerumunan pasar. Selepas Cikarang memasuki Karawang jalan sudah lebih lengang.

Cuaca mulai lebih terik diiringi hempasan angin bus antar kota dan truk menjadi sahabat kami menikmati hamparan hijau persawahan membentang di kiri kanan jalan.

Sejak dahulu wilayah Karawang memang dikenal sebagai lumbung padi yang menopang kebutuhan pangan Ibukota Jakarta. Namun sayang konversi lahan persawahan menjadi hunian, pergudangan dan industri terlihat tidak terbendung.

Memasuki Cikampek, kami sempat berhenti sejenak untuk regrouping dan berpisah dengan rombongan Om Yabo yang melanjutkan perjalanan ke Purwakarta.

Panas mentari kian terasa di kala waktu menunjukan sekitar pukul 11.00. Om Toto, Om Yudi dan Om Jamal lama tak terlihat karena tertinggal cukup jauh.

Sambil menunggu, kami menyempatkan minum dan mengisi botol-botol minum untuk bekal setidaknya satu jam perjalanan kedepan.

Berselang sekitar 20 menit Om Toto dan Om Yudi muncul dan bergabung dengan kami untuk beristirahat sejenak. Namun Om Jamal belum juga muncul. Kami coba kontak nomor beliau pun tidak diangkat.

Karena itu saya sebagai road captain berinisiatif untuk sama-sama memasang bike rack pada mobil logistik kami untuk antisipasi harus mengevakuasi Om Jamal.

Kemudian saya minta tolong ke Pak Mulya dan Om Ruly untuk putar balik menjemput Om Jamal. Tak lama berselang mobil pergi, Om Jamal pun muncul perlahan mengayuh. Ternyata beliau sempat kram tadi.

Dalam bersepeda hal ini biasa terjadi oleh karena faktor kurang elektrolit atau kurang minum. Oleh sebab itu, Om Jamal akhirnya memutuskan untuk dievakuasi demi keselamatan berhubung Cirebon kota target hari pertama masih sangat jauh. Faktor keselamatan harus menjadi prioritas.

Setelah berfoto dan berpamitan dengan Om Yabo dan kawan-kawan, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami bertolak ke arah kiri menuju Subang, sedangkan mereka ke arah kanan menuju Purwakarta.

Terik matahari semakin menyengat tak menyurutkan semangat kami untuk tetap melaju memasuki rute Pantai Utara Jawa yang terkenal panas.

Laju sepeda kami pacu antara 25 km/jam hingga 32 km/jam sambil berusaha bertahan menghadapi headwind yang cukup kencang. Sedikit demi sedikit kami berusaha beradaptasi menghadapi kombinasi cuaca panas, headwind dan kendaraan-kendaraan besar yang seolah nyaris tidak memberikan ruang gerak untuk kami.

Lapar dan haus mulai terasa tatkala jam menunjukan pukul 11.40. Om Jay di belakang terlihat sudah mulai mengayuh pelan, kelihatannya beliau mencoba menghemat energi supaya nanti bisa sampai di Kota Cirebon.

Mata kami mulai menyusuri kiri kanan jalan mencari tempat pemberhentian untuk makan siang. Tak banyak memang pilihan rumah makan di jalur ini. Semenjak tol Cipali dibuka dan ditambah lagi palgebluk Covid 19 merambah negeri kami sejak awal tahun lalu, praktis banyak tempat usaha makanan di jalur ini tutup karena semakin sepi pengunjung.

Tepat pukul 12.15 kami menepi di rumah makan Ma’ Pinah untuk rehat sejenak dan makan siang dengan menu khas Jawa Barat.  Menepi sejenak berteduh, minum atau makan memang menjadi hiburan tersendiri bagi kami melewati jalur terik Pantai Utara Jawa.

Setiap kami mampir dan membuka pintu gerai minimart, hembusan udara AC menjadi pelipur untuk kami bisa terus bertahan menembus jalur panas ini.

Sempat kami berharap turun hujan, namun hujan masih enggan datang. Butuh tidak sekedar fisik yang kuat untuk melewati jalur ini, namun ketahanan mental dan fokus pada tujuan akhir lebih penting lagi. Sekitar 30 menit berlalu di rumah makan Ma’ Pinah, waktu yang cukup lama buat kami makan dan recovery fisik dan semangat kami. Bergegas kami lanjutkan menuju perjalanan menuju Indramayu.

Rumah Makan Ma’Pinah di Subang

Daerah Indramayu masih termasuk wilayah propinsi Jawa Barat. Daerah bahari ini juga terkenal dengan buah mangga yang khas dan manis. Saat melintas memang belum banyak terlihat buah mangga yang biasa dijajakan saat musimnya.

Saluran-saluran irigasi terlihat kering hanya terlihat limbah masyarakat mengendap di dasarnya. Selepas Kecamatan Patrol memasuki Kecamatan Kandanghaur, aroma laut mulai tercium serta mulai nampak barisan kapal-kapal nelayan menyeruak rapat di muara sungai.

Mulai dari Kecamatan Lohbener hingga gerbang selamat datang di Kabupaten Cirebon kami dapat lalui tanpa terasa sambil menikmati pemandangan khas pantai utara Pulau Jawa. Kami sempat berhenti dan berfoto sejenak di gerbang ini. Perasaan sedikit lega, artinya kami tidak terlalu malam akan tiba di Kota Cirebon untuk beristirahat malam ini.

Waktu sudah menunjukan pukul 17.35, perjalanan kami lanjutkan menuju Kota Cirebon. Om Didik bilang ke saya bahwa beliau sudah mulai lapar.

Berselang beberapa kilometer mengayuh, kamipun berhenti istirahat di minimarket untuk sekedar makan roti, minum dan mengisi perbekalan minum kami.

Sambil duduk, menggunakan ponsel kami mencoba mencari penginapan dan rumah makan di seputaran Kota Cirebon. Berbagai hidangan khas kota udang ini mulai terbayang menggoda naluri kami dan membuat ingin segera tiba di sana. Hari pun mulai gelap, namun tak menyurutkan semangat kami untuk melanjutkan perjalanan.

Lampu depan dan belakang untuk kami nyalakan demi keselamatan. Sepeda kami kayuh berarak menyusuri jalan gelap yang minim penerangan di jalan utama utara Pulau Jawa ini.

Kendaraan truk dan bus malam silih berganti melewati kami melaju arogan meninggalkan kepulan asap hitam. Lampu-lampu kota dan toko-toko mulai terlihat di persimpangan jalan menuju kota. Sepeda kami laju semakin kencang seiring dengan rasa lapar yang memburu.

Papan petunjuk arah memberikan isyarat belok ke kiri menuju Kota Cirebon.  Kami pun berbelok ke kiri meninggalkan jalan utama Pantura menuju pusat Kota Cirebon. Beberapa papan nama rumah makan khas Cirebon mulai terlihat meriah di kiri kanan jalan merayu untuk singgah. Melintas di Jalan Tuparev, laju sepeda kami hentikan di Rumah Makan Empal Gentong Haji Apud yang terkenal itu. Dengan sigap kami tepikan sepeda di pelataran rumah makan lalu segera masuk.

Sebelum duduk, deretan minuman ringan di lemari es menggoda untuk dibuka. Sambil menikmati minuman dingin, kami memesan empal gentong beserta nasi dan sate kambing. Tak butuh waktu yang lama, semua makanan yang kami pesan pun tiba. Dan berhubung kami juga begitu lapar, maka empal gentong dan sate segera kami tuntaskan dalam waktu yang singkat pula.

Makan Malam di Rumah Makan Empal Gentong Haji Apud

 

Selepas makan malam yang nikmat, reaksi alami tubuh mulai merindukan peraduan.  Setelah melihat Google maps, ternyata hotel yang kami hubungi tadi jaraknya cukup jauh.

Kami putuskan untuk langsung saja mencari di seputaran Jalan Tuparev yang ternyata cukup banyak penginapan. Buat kami yang biasa bersepeda berhari-hari tidak perlu akomodasi yang mewah.

Yang terpenting harga cukup terjangkau dan kami bisa beristirahat. Setelah melalui beberapa hotel megah di sepanjang jalan ini, kami melihat ada hotel yang tidak terlalu mewah di sebelah kanan jalan. Saya coba berhenti dan memanggil Om Roi dan Om Didik yang terlanjur melaju duluan untuk berhenti.

Kelihatannya ini hotel bintang tiga dengan harga yang tertera di banner di muka hotel yang cukup menarik tidak sampai Rp 200.000 per malam.

Saya pun langsung mencari meja receptionist untuk menanyakan ketersediaan kamar bagi rombongan kami delapan orang. Untung saja malam itu masih tersedia enam kamar, jadi kami bisa istirahat untuk melanjutkan perjalanan besok pagi.

Namun seperti biasa, sebelum tidur kami sempatkan untuk mencuci baju, celana dan kaos kaki supaya besok bisa kami pakai kembali. Karena dalam touring sepeda biasanya kami memang tidak membawa persediaan pakaian yang banyak. Pakaian yang kami cuci biasanya kami jemur di bawah AC supaya cepat kering.

Pagi hari alarm Om Jay berbunyi membuat saya terjaga. Rupanya waktu sudah menunjukakn pukul 05.00. Badan terasa sudah kembali fit dan siap melanjutkan perjalanan menuntaskan rute kota-kota di Pantura sebelum ke Dieng.

Saya manfaatkan waktu 30 menit untuk bergegas cuci muka dan sarapan seadanya. Celana yang masih basah, saya tetap pakai saja. Karena saya berpikir, nanti juga kering di jalan.

Teman-teman sudah terlihat merapihkan sepeda di pelataran hotel. Tepat pukul 05.30 kami semua sudah siap untuk briefing dan melanjutkan perjalanan.

Target hari kedua ialah Dieng bahkan jika memungkinkan kami bisa sampai di Wonosobo untuk bermalam. Karena terlalu dingin jika kami harus bermalam di Dieng. Lalu setelah briefing dan berdoa, kami pun melanjutkan perjalanan.

Dari hotel tempat kami menginap kembali ke arah timur menuju jalan utama Pantura. Cuaca masih lumayan sejuk, sepeda kami kayuh agak kencang supaya kami dapat memaksimalkan jarak tempuh sebelum hari mulai panas.

Melawati Kota Cirebon kemudian ke timur menyusuri pinggir kota perlahan pemandangan perkotaan berubah menjadi area persawahan, area industri dan pembangkit listrik tenaga uap di kiri jalan. Speedometer menunjukkan angka 28 km/jam hingga 32 km/jam, kecepatan yang cukup ideal untuk melahap rute datar dari Kota Cirebon menuju Brebes kota terdekat sebelum tengah hari. Sinar matahari makin terik kami rasakan ketika waktu masih menunjukan pukul 08.30 bertepatan kami melewati Kota Brebes.

 

Menuju Kota Brebes

 

Kota di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ini selain sebagai kota bahari, juga terkenal sebagai penghasil bawang merah dan menjadi daerah pemasok terbesar bagi kebutuhan di pasar-pasar di Ibukota Jakarta. Selain itu, daerah ini sejak dulu juga terkenal sebagai daerah penghasil telur asin yang sangat lezat. Kultur masyarakat yang tetap melestarikan telur asin dan budidaya bawang merah sebagai bagian budaya masyarakat menjadi faktor penunjang hidupnya perekonomian daerah ini. Meskipun dampak mulai beroperasinya tol Cipali di tahun 2015, menyebabkan pendapatan masyarakat berkurang dari penjualan telur asin sebagai oleh-oleh khas Brebes.

Meskipun cuaca semakin panas, sepeda tetap kami kayuh berlahan meninggalkan Brebes Timur memasuki Kota Tegal. Jembatan Ketileng yang menjadi perbatasan Brebes dan Tegal seolah menyambut kedatangan kami.

Tegal dijuluki sebagai Kota Bahari salah satunya karena terdapat pelabuhan nelayan yang cukup besar di sana. Kami menerobos lurus ke arah pusat kota, menghindari rute pinggir kota yang sarat truk dan bus antar kota. Tak seberapa jauh kemudian terlihat di sebelah kanan terlintas Rita Supermall.

Pusat perbelanjaan kebanggaan masyarakat Kota Tegal. Sesampainya di persimpangan restoran cepat saji McDonald, kami berbelok ke kiri menuju Pelabuhan Tegal. Kami singgah sebentar untuk melihat dari dekat kehidupan nelayan. Kapal kayu berbagai ukuran berjejer merapat berhimpitan di muara sungai dengan tinggi air yang hampir menyentuh bibir jalan.

Tak terbayang ntah apa yang akan terjadi pada warga sekitar bila hujan deras atau saat air laut pasang. Sungguh tidak mudah bertahan hidup di daerah seperti itu. Dengan perlahan kami mengayuh sepeda melewati sebuah galangan kapal dan rumah-rumah warga yang berhimpitan. Ujung jalan menuju jalan utama jalur Pantura pun terlihat seiring dengan deru mesin kendaraan-kendaraan berat sayup mulai terdengar.

Pelabuhan Tradisional di Kota Tegal

 

Jalanan rata di pinggir Kota Tegal yang lurus disertai kondisi jalan yang sebagian berlubang serta minim pepohonan di tambah lagi makin matahari yang makin terik, namun tidak menyurutkan semangat kami untuk mengayuh menuju kota berikutnya yaitu Pemalang.

Saya jadi teringat ketika melewati jalan ini menuju Yogyakarta mengendarai mobil bersama keluarga beberapa tahun yang lalu. Saat sempat terbesit ide pasti menantang sekali kalau suatu hari nanti saya bisa bersepeda melintasi jalur ini.

Cukup jauh memang dan butuh ketahanan fisik serta keteguhan hati untuk dapat tetap bertahan mengayuh di rute terik ini. Beberapa ruas jalan sedang diperbaiki sehingga menyebabkan kemacetan panjang mengular.

Dengan bersepeda kami bisa lebih lincah bermanuver di sela-sela kendaraan berat untuk tetap melaju. Berselang beberapa kilometer mengayuh, mulai tampak gapura Kabupaten Pemalang.

Kami sepakat untuk masuk Kota Pemalang dan tidak melewati jalur utama Pantura supaya lebih sejuk dan bisa mengisi perbekalan minum.

Kota Pemalang dengan luas sekitar 44 kilometer persegi dan jumlah penduduk 355 ribu jiwa ini cukup tertata rapih dan menarik untuk disinggahi.  Melintasi deretan pertokoan di kiri kanan jalan, kami menepi di satu minimarket untuk istirahat sejenak.

Seperti biasa, kami langsung bergegas masuk dan mendinginkan diri kami di bawah AC, kemudian membeli minuman untuk menambah perbekalan kami. Sebelum beranjak, saya sempat menghampiri penjual es dawet di depan minimarket. Seorang ibu bersahaja menanti sepi pembeli duduk agak jauh dari gerobak dagangannya.

Kami pun lantas asik bercengkrama akrab dengan bahasa Jawa sambil beliau menyiapkan 5 bungkus es dawet yang kami pesan. Saya memperhatikan bagaimana ibu ini sangat telaten satu persatu menyiapkan pesanan kami. Saat kami santap terasa betul kesegaran dan cita rasa es dawet Pemalang ini beda. Apalagi harganya pun cukup murah. Bisa dibilang ini merupakan es dawet terenak dan termurah yang pernah saya nikmati.

Menikmati Es Dawet di Kota Pemalang

 

Kota Pemalang memang menarik untuk disinggahi lebih lama, namun kami harus melanjutkan perjalanan menuju kota selanjutnya yaitu Pekalongan. Sedikit demi sedikit kami pun tiba di batas kota dan kembali lagi masuk ke jalur utama Pantura bergelut dengan panas, debu dan berpacu dengan kendaraan-kendaraan melintas.

Menjelang Kota Pekalongan, debu jalanan semakin pekat akibat kondisi jalan yang kering ditambah lagi perbaikan jalan. Untung saja kami segera berbelok ke kanan memasuki jalan pemukiman penduduk dengan pepohonan rindang di sisi jalan membawa kesejukan.

Dan karena perut kami sudah lapar pula, kami bergegas menuju persinggahan Rumah Makan Dapoer Pelangi Terrace milik keluarganya Om Didik. Rumah makan dengan gaya arsitektur khas jawa dikelilingi dengan landscape pepohonan rindang dan asri memberikan suasana sangat nyaman untuk kami singgahi lebih lama.

Bangunan utama dengan konsep rumah joglo dikeliling kaca dan ornamen dan furniture kayu nan klasik menambah kesan tersendiri. Setelah memesan minuman kopi dingin, saya seketika masuk ke ruangan utama untuk mendinginkan badan di depan AC. Cukup lama saya berdiri dan duduk di depan AC sambil menunggu pesanan datang.

Sementara teman-teman lainnya duduk santai rebahan di teras. Tidak terlalu lama pesanan-pesanan kamipun datang. Sup iga dan minuman segar es lemon sereh menjadi penghapus penat dan panas kami hari itu.

Rumah Makan Dapoer Pelangi Terrace

Tanpa terasa cukup lama kami sudah beristirahat di situ, waktu sudah menunjukan pukul 14.20. Saatnya kami melanjutkan perjalanan menuju Dieng melalui jalur Petungkriyono.

Menuju selatan Kota Pekalongan suasana menjadi lebih sejuk. Area perkebunan dan persawahan hijau menemani perjalanan kami menuju Doro kota kecamatan sebelum Petungkriyono. Jalur ini bisa dibilang jalur terbaik menuju Dieng dengan pemandangannya yang luar biasa.

Menjelang Doro kami mulai merasakan rute yang menanjak perlahan dengan gradien antara 5 sampai dengan 10 persen. Namun pemandangan asri pedesaan membuat kami lebih santai, terlebih lagi di saat mendung sudah mulai menghampiri langit sore.

Hujan rintik mulai menyapa ramah menemani seiring kami memasuki daerah perbukitan. Pemukiman warga mulai jarang terlihat digantikan dengan pemandangan hutan lindung milik Perhutani dan perkebunan milik warga setempat. Om Roi sempat mengalami masalah dengan rem depannya yang selalu berdecit.

Saya pun menawarkan diri untuk membantu memperbaiki. Lalu kami menepi ke sebelah kanan jalan tepat di pekarangan rumah sederhana warga.

Sedikit berpacu dengan hujan yang mulai deras, saya mengambil hand tools dan bergegas memperbaiki rem depan sepeda Om Roi. Kami berdua berada di posisi paling belakang dari rombongan. Sementara Om David, Om Didik, Om Jay dan Om Ruly sudah lebih dahulu di depan.

Perjalanan kami lanjutkan mendekati rombongan yang di depan dengan rute yang makin menanjak sambil menikmati hujan dan pemandangan rute yang mulai menukik tajam.

Tak lama berselang rombongan di depan mulai terlihat berhenti menunggu kami. Lalu kami sama-sama melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba terdengar bunyi logam yang cukup keras dari belakang roda sepeda Om Roi saat kami berusaha melalui satu tanjakan cukup terjal.

Rear derailleur sepeda Om Roi ternyata tidak bisa memindahkan rantai ke gear yang lebih besar sehingga menyulitkan saat menanjak. Kebetulan di sisi kanan jalan ada sebuah warung kopi, jadi kami bisa berteduh sejenak sambil memperbaiki sepeda Om Roi. Tidak butuh waktu yang lama, sepeda Om Roi pun sudah normal kembali dan kami melanjutkan perjalanan.

Hijau hutan dengan dedaunan rapat menaungi kami dari derasnya hujan saat cahaya mentari perlahan meredup berganti senja. Untung saja mentari masih menyisahkan cahayanya saat kami tiba di tugu Petungkriyono.

Tidak kami lewatkan untuk berfoto mengabadikan momen memasuki kawasan Petungkriyono. Jalan menurun terjal dan meliuk menyambut kedatangan kami untuk perlahan kami nikmati surga tersembunyi di Kabupaten Pekalongan.

Udara sejuk berhembus menyelinap dari pepohonan menyapa lembut membelai tubuh menghepaskan penat dan panas yang kami rasakan di jalur Pantura. Laju sepeda kami perlambat seakan tidak rela kehilangan momen ini terlalu cepat. Suara gemericik aliran air terasa jelas terdengar di lembah sebelah kanan kami.

Tidak terlalu jauh melaju, kami pun menemukan air terjun kecil di sebelah kiri kami mengalir deras membelah jalan melalui sebuah Jembatan kecil. Ternyata benar desas desus bahwa jalur ini memang menyimpan banyak sekali keindahan alam dengan objek-objek air terjun yang menawan.

 

Tugu Petungkriyono

 

Kami terus mengayuh berpacu dengan waktu. Sempat beberapa kali kami berhenti untuk berfoto di beberapa spot air terjun yang kami temui setidaknya untuk bisa menikmati dan mengabadikan keindahan alam karya Ilahi.

Jalan yang kian terjal meliuk dapat tetap kami lewati meskipun hari sudah mulai gelap dan rintik hujan masih saja jatuh menghujam bumi. Di kegelapan kami masih bisa melihat pintu masuk menuju objek wisata Welo Asri yang tadinya hendak kami singgahi. Namun karena kondisi sudah mulai gelap dan loket juga sudah tutup, maka kami lanjutkan saja perjalanan.

Setelah Welo Asri, di sebelah kiri jalan nampak lampu-lampu khas cafe dan beberapa kendaraan berjejer terparkir rapih. Ternyata itu adalah objek wisata Black Canyon yang terkenal.

Sayang sekali kami kali ini tidak bisa singgah untuk sekedar menikmati pemandangan dan bermain air karena sudah malam. Jalan masih menanjak setelah objek wisata Black Canyon. Tidak jauh dari situ di sebelah kanan nampak pula lampu-lampu gemerlap dan terlihat loket yang sudah tertutup rapat.

Dengan tenaga tersisa dan suhu terasa makin dingin kami lanjutkan mengayuh melintasi gelap malam dengan lampu seadanya. Om Jay, Om Didik dan Om David terlihat berhenti di depan cafe yang cukup bagus dengan penerangan yang cukup meriah pula.

Saya cukup terkesima mengapa ada cafe sebagus ini di jalur yang jauh dari pemukiman warga. Kayoe Coffee Barn Petungkriyono ialah nama tempat tersebut. Cukup menarik tempatnya dan menu yang disajikan pun lumayan beragam. Kami pun memutuskan rehat beberapa saat di tempat itu untuk makan malam dan beristirahat.

Sambil duduk rebahan, kami melepas lelah sambil bersenda gurau menikmati suasana malam pegunungan. Tak lama perlu menunggu terlalu lama, nasi goreng spesial, ayam goreng dan minuman

Jalan masih saja menukik menanjak membelah lebatnya pepohonan dan gelapnya malam. Namun kali ini kami lebih bertenaga karena perut sudah terisi makanan dan otot-otot kami pun sudah sempat beristirahat.

Di kejauhan nampak lampu-lampu pemukiman warga dan perlahan kami dekati. Jalan meliuk menanjak melintasi persawahan dan perkampungan tetap nampak mengagumkan meskipun kami melewatinya saat malam. Ingin rasanya suatu saat nanti mengulang kembali melewati persawahan ini siang hari untuk sekedar menikmati pemandangannya.

Saking kami begitu menikmati rute ini, tanpa terasa kami sudah tiba di persimpangan menuju penginapan. Waktu menunjukan pukul 21.30, lega rasanya bisa tiba di penginapan, karena kami sudah amat lelah seharian bersepeda.

Di lokasi sekitar situ tidak ada hotel. Yang ada hanyalah penginapan sederhana berupa penginapan sederhana. Tarifnya pun sangat murah dengan fasilitas seadanya. Yang penting kami malam ini bisa beristirahat untuk melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta.

Pagi Hari Di Pelataran Penginapan Sofia

 

 

Setelah menunggu Om Ruly selesai menghubungi bapak pemilik penginapan, kami bergegas belok kanan menuruni jalan cukup curam dengan penerangan seadanya menuju Penginapan Sofia.

Sesampainya di penginapan kami langsung memarkirkan sepeda ke tempat yang aman, mengambil tas perbekalan dan kemudian membagi kamar. Udara dingin malam itu serasa makin menusuk tulang-tulang letih kami.

Namun, kami tetap sempatkan bercengkrama sejenak melepas lelah dengan canda tawa di teras kamar yang saya tempati. Di kamar itu ditempati saya, Om Jay, Om Roi dan Om Didik.

Sedangkan Om David, Om Ruly masing-masing di kamar lainnya. Asik bercerngkrama sambil memandang lembah dan gemerlap Kota Pekalongan dari ketinggian, tak terasa sudah cukup lama kami duduk di teras. Malam sudah makin larut, saya pun masuk ke kamar. Saya persilahkan Om Jay untuk mandi duluan.

Sementara saya merapihkan tas bawaan dan menyiapkan baju ganti. Terdengar gemericik air dan teriakan dari kamar mandi. Menandakan bahwa saya pun akan berteriak kedinginan nanti saat mandi setelah Om Jay.

Dan giliran saya pun tiba. Kamar mandi tanpa pintu menanti bisu dalam kesunyian dan dingin malam.  Saya paksakan untuk tetap mandi sekalipun dinginnya air seakan menusuk dalam hingga tulang tanpa saya berteriak.

Setelah mandi saya mencuci baju untuk saya pakai besok. Namun tangan saya tidak henti-hentiknya gemetar karena kedinginan.

Apa mau dikata, dengan susah payah akhirnya saya mencuci baju dan berpakaian. Malam itu ternyata saya yang terakhir terjaga, Om Roi dan Om Didik sudah nampak terlelap pulas di atas kasur nyaman berselimut. Om Jay terlihat tidur dengan kasur sebagai bantal kepala dan berselimutkan kaus.

Tinggal saya yang harus mencari tempat untuk tidur di ruangan yang sempit itu. Masih ada ruang tersisa di sudut dekat tembok, saya pun menarik saddle bag saya untuk saya gunakan menjadi bantal.

Tak lupa saya memakai kaus kaki supaya tidak terlalu dingin. Lima belas menit berlalu mencoba terlelap, namun apa daya dinginnya malam malah membuat saya tidak bisa tidur. Kaus yang tersisa di saddle bag, saya pakai menjadi selimut di paha saya. Setidaknya malam itu saya cukup hangat untuk bisa tidur sebentar melepaskan lelah.

Malam pun berlalu, pagi menyapa. Meskipun saya hanya tiga jam tidur, namun badan terasa segar dan siap menempuh rute selanjutnya yaitu Kota Yogyakarta.

Pukul 05.30 kami semua sudah bangun dan langsung bersiap untuk berangkat. Tepat pukul 06.00 kami sudah berkumpul dan briefing untuk persiapan rute berikutnya.

Setelah doa bersama dan pamit dengan pemilik penginapan, kami melanjutkan perjalanan dengan menuruni gerbang penginapan dan langsung menukik menanjak ke kanan menuju warung di pertigaan jalan di tempat kami behenti tadi malam. Warung sederhana persis di pojokan pertigaan ini cukup strategis letaknya.

Pintunya masih tertutup rapat, sempat menyiutkan kami karena dikira masih tutup. Setelah Om Didik mengetuk pintu, sang pemilik warung langsung membuka pintu dan menyapa. Ternyata warungnya sudah buka dan terlihat dua pelanggan sedang asik menyantap hidangan.

Ibu pemilik warung pun hangat menyambut sehangat nasi yang baru ia tanak. Uap hangat menyembul dari dandang di dapur menebarkan aroma harum nasi.

Aneka hidangan khas yang menggugah selera memaksa kami untuk segera mengambil piring lalu memenuhinya dengan nasi serta berbagai lauk dan sayur. Di tengah meja juga tersedia beragam hidangan dan cemilan ringan. Tidak lupa kopi tubruk dengan biji kopi asli dari daerah Petungkriyono ditawarkan juga menjadi penutup sarapan kali ini. Setelah selesai sarapan dan membayar, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Dieng dan Kota Yogyakarta.

 

 

 

 

Jalan Menuju Puncak Simego

Pagi pada hari yang ketiga ini kami rasakan sempurna. Setelah cukup beristirahat dan makan pagi yang lezat, di samping warung makan yang tadi sudah nampak jelas jalan menanjak terjal menanti untuk kami lalui.

Hal ini tidak menjadi rintangan bagi kami untuk tetap menikmati perjalanan ini. Sesampainya di ujung tanjakan, jalan mulus membentang. Di sebelah kanan nampak jelas pemandangan indah lembah pinus Petungkriyono.

Dan sebelah kiri kami pula hamparan hutan pinus bak hijau kaki langit diselimuti kabut pagi. Sepeda kami kayuh perlahan supaya lebih lama menikmati pemandangan menawan ini.

Jalan yang perlahan makin menanjak menambah kesenangan kami untuk mencoba menjelajahi perbukitan ini lebih tinggi lagi. Sekelompok anak sekolah beriringan ceria menuju sekolah menyusuri jalan mendaki tanpa lelah. Kami pun menyapa hangat dan dibalas dengan seruan yang menyemangati kami.

Perjalanan ini membuat kami semakin merasakan kehangatan warga lokal meskipun hanya anak-anak. Dua tanjakan cukup terjal kami lewati dan cukup membuat denyut jantung kami perlahan melonjak tinggi.

Tapi kami bertahan melaju tanpa henti hingga ujung tanjakan. Sampai juga kami pada dataran dengan jalan meliuk membelah terlihat perkampungan dengan hamparan aneka perkebunan sayur.

Tanah di perkampungan ini terlihat sangat subur. Kami pun ramah menyapa penduduk yang melintas. Saya dan Om Roi menepi di persimpangan jalan sambil menunggu teman-teman yang ternyata masih jauh tertinggal.

Seraya menunggu teman-teman, saya menyapa ramah beberapa warga yang bersiap berangkat ke pasar. Dengan diangkut mobil pick up satu-satunya moda transportasi umum di daerah itu. Mereka tiap pagi menuju Pasar Batur guna berjualan berbagai hasil perkebunan.

Di tepi jalan terlihat beberapa tampah dengan biji wortel diatasnya sedang dijemur sebagai bakal benih. Tak lama kemudian muncul Om David mengayuh sambil tersenyum menikmati pemandangan perkampungan yang sangat asri. Selang beberapa saat kemudian sampai pula Om Didik, Om Jay dan Om Ruly.

Dari perkampungan ini bisa kami lihat beberapa baris bukit lagi yang harus kami lalui hingga Desa Sibebek menuju Dieng. Kami lanjutkan perjalanan sambil makin larut terkagum menikmati pemandangan perbukitan hijau setelah perkampungan tadi. Sayup-sayup terdengar deru mesin mobil pick-up angkutan umum tadi di depan kami meraung. Menandakan tanjakan di depan kami akan semakin terjal.

Ternyata benar, sepeda semakin berat kami kayuh menyusuri tanjakan lurus dan menukik tajam dengan gradien sekitar 24 derajat. Om Didik terlihat tertatih melewati tikungan tajam pertama namun tetap berusaha menuntun sepedanya. Hal ini baik sekali untuk tidak memaksakan fisik kita saat melewati tanjakan ekstrim seperti ini.

Saya dan Om Roi di depan menunggu teman-teman yang lainnya tepat di tikungan tajam ke kanan. Sesampainya Om David, Om Didik, Om Jay dan Om Ruly, kami minta mereka untuk istirahat sejenak sambil menurunkan denyut jantung dan menikmati pemandangan lembah dan perkampungan tadi dari ketinggian.

Kabut mulai perlahan turun menambah syahdu suasana siang itu. Satu tanjakan lurus menuju puncak Simego harus kami tuntaskan tanpa gentar. Kami lanjutkan perjalanan dengan kayuhan demi kayuhan melaju perlahan sambil menahan asam laktat yang mulai naik di paha dan betis kami seiring denyut jantung melaju melewati batas puncak sewajarnya.

Dan akhirnya Puncak Simego pun berhasil kami tapaki dengan susah payah. Pak Mulya dengan sigap menyambut dan memberi saya dan Om Roi sebotol air mineral. Tanpa disadari air mineral di kedua botol saya memang sudah habis. Rasa puas dan lega bercampur kagum akan pemandangan dari puncak Simego, menghapus rasa sakit dan letih sepanjang tanjakan tadi.

Satu per satu teman-teman dengan ekspresi puas pun tiba di penghujung tanjakan ini. Cukup lama kami berhenti di situ sambil menyempatkan berfoto dengan berlatarkan kabut melintas.

 

Di Puncak Tanjakan Simego

 

Waktupun berlalu tanpa terasa kami sudah hampir 15 menit berhenti di puncak Simego. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju Desa Sibebek. Kali ini rute yang harus kami lalui menurun curam. Kami anggap sebagai bonus dari perjuangan kami melalui rute menanjak tadi.

Om David Menuju Desa Sibebek

Namun saya harus tetap berhati-hati, karena rem sepeda saya dibanding dengan teman-teman lainnya paling tidak pakem dan rentan mengalami rem blong.

Apalagi di rute ini banyak sekali tikungan dengan jurang di sampingnya. Sepeda saya biarkan melaju menurun dengan kencang meskipun gerimis dan agak mengganggu visibilitas. Kerikil akibat aspal yang lepas dan lubang ternganga menjadi tantangan tersendiri untuk saya hindari dengan konsentrasi mengatur kecepatan dan pengereman. Adrenalin saya terpacu sambil berdoa memohon keselamatan.

Tepat di ujung desa, jalanan menurun tadi berakhir. Saya pun menepi sambil menunggu teman-teman yang lain bersama Om David. Ternyata masih cukup jauh di belakang. Meskipun kami sudah menurun cukup jauh, ternyata kami masih berada di perbukitan menyisakan pemandangan Indah lembah Sibebek. Desa Sibebek merupakan pertemuan jalur utama melalui Kajen dan Petungkriyono. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kami menuruni bukit dan tiba di pertigaan Pasar Sibebek lalu kami berbelok ke kiri ke arah Dieng.

Waktu masih menunjukan sekitar pukul 09.30 pagi. Perjalanan menuju Dieng masih menyisakan rentetan tanjakan ekstrim. Terutaman tanjakan Sibaris dan tanjakan menara BTS. Bagi pesepeda yang pernah melewati jalur menuju Dieng, pasti paham betapa beratnya melewati tanjakan-tanjakan rute ini.

Meskipun agak mendung, langit masih menyisakan cahaya menemani kami mengayuh sambil berharap setidaknya tidak turun hujan sebelum kami tiba di Dieng. Rute dari Pasar Sibebek menuju Dieng, kami harus melewati Kecamatan Batur. Tidak seperti rute sebelumnya di Petungkriyono, rute dari Pasar Sibebek menuju Kecamatan Batur disuguhi pemandangan perkebunan aneka sayuran di kiri dan kanan jalan.

Aktivitas warga berkebun dan memanen aneka sayuran kerap kami saksikan. Rute mendaki menuju Pasar Batur pun tanpa terasa kami lalui. Meskipun beberapa kali kami harus berhenti untuk beristirahat dan menambah perbekalan minum kami. Saat kami melintasi simpang menuju Kembang Langit, Om Didik berpamitan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Dieng dan kembali ke Pekalongan. Tibalah kami di Pasar Batur, pasar tradisional dengan hiruk pikuk aktifitas perekonomian warga yang cukup ramai. Rasanya warga di Pasar Batur tidak terusik protokol kesehatan di tengah pandemi covid-19 yang masih saja belum usai di negeri ini.

Tanjakan Sibaris

 

Kami pun segera berlalu dari Pasar Batur melalui jalan menurun dan berbelok ke kanan. Asik menikmati turunan meliuk, lalu jalan mendatar menyambut dan perlahan mulai menanjak lagi. Dari kejauhan mulai terlihat rute tanjakan panjang Sibaris yang curam membelah desa.

Kecepatan kayuhan harus saya kurangi guna menjaga denyut jantung hingga ujung tanjakan. Perkiraan saya gradien tanjakan ini setidaknya 23 derajat. Panjang, curam dan amat melelahkan.

Di depan saya terlihat Om Roi dan Om David sudah berhenti sebelum tikungan tajam. Saya pun menghampiri seraya menanyakan kondisi mereka dan menurunkan heart rate.

Setelah mendengar kondisi mereka baik-baik saja, saya perlahan lanjutkan mendaki tikungan Sibaris. Tikungan ini sangat terkenal sulit dilalui dan rawan kecelakaan terutama di saat hujan banyak kendaraan roda dua terperosok gagal menanjak. Perlahan saya mencoba melalui bagian tersulit dari tanjakan ini dengan konsentrasi mengatur nafas dan tenaga di kedua kaki saya untuk tetap mengayuh hingga puncaknya.

Sesampainya di puncak tanjakan, Pak Mulya seperti biasa menyambut dengan memberikan sebotol air mineral karena biasanya persediaan air kami sudah habis. Di bawah terlihat Om Roi, Om David, Om Jay dan Om Ruly sedang berjuang melewati bagian rute terberat di Dieng ini.

Seperti yang sebelumnya, rasa senang dan lega kami rasakan ketika sampai di puncak tanjakan. Sambil minum dan beristirahat, kami menikmati pemandangan mempesona meskipun awan mendung mulai bergelayut. Tantangan selanjutnya pun menanti kami yaitu tanjakan menara BTS.

Tidak sesulit tanjakan Sibaris, namun tetap sangat terjal dan lebih pendek. Tak berselang cukup lama, kami pun lanjut mengayuh menuju tanjakan menara BTS untuk menuntaskan satu lagi tanjakan terjal menuju Dieng.

Di beberapa tempat untaian pipa uap panas bumi mulai terlihat mengular keluar dari permukaan bumi menuju Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Dieng.

Beberapa kepala sumur mengeluarkan uap panas laksana asap putih yang menyeruak dari peraduan hingga membumbung ke udara dan menghilang begitu saja. Menyaksikan alam dengan segala kebajikannya selalu memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Menapaki kembali daratan tinggi Dieng ini tidak pernah jenuh, selalu menyenangkan.

Awan sudah mulai mendung seiring dengan perut kami yang mulai lapar. Rupanya jam sudah menunjukan pukul 12.00 siang. Setelah menyempatkan berfoto di tugu Dieng, kami menuju warung sederhana tepat di seberangnya. Menu mi instan rebus dan nasi goreng di warung ini lumayan enak.

Masih ada satu meja panjang yang kosong tersisa untuk kamu tempati. Tak perlu menunggu lama, kami langsung memesan mi rebus dan nasi goreng sebagai carbo loading untuk mengisi kembali kalori yang terkuras sepanjang jalan tadi.

Berhubung pelanggan selain kami juga cukup banyak, kami harus bersabar menunggu sambil menahan lapar dan dingin. Hingga apa yang kami nanti pun tiba mendarat di atas meja kami. Tanpa menunggu aba-aba, hidangan yang kami pesan pun secara singkat kami santap dan ditutup dengan segelas teh hangat.

 

Tiba di Dieng

Setelah perut terasa aman terisi dan kami menyelesaikan kewajiban membayar, lalu kami bersiap melanjutkan perjalanan ke Kota Yogyakarta. Awan mendung tadi tak kunjung juga pergi pula. Malah makin menjadi dan hujan lebat pun mendadak menghadang kami untuk beranjak.

Langkah kami urungkan sejenak, setidaknya menunggu hingga hujan agak reda. Teh hangat kembali kami pesan untuk menemani kami menunggu hujan. Hujan deras menghujam bumi disertai dengan dingin yang makin menusuk tubuh kami yang baru saja sempat istirahat sejenak di warung itu.

Namun kami tidak ingin waktu berlalu begitu saja. Kami tetap nekat untuk melanjutkan perjalanan melewati hujan. Om David dan yang lainnya semua langsung memakai jaket dan jas hujan.

Hanya saya sendiri tidak memakai jas hujan ataupun jaket karena cukup familiar dan adaptif dengan suhu dingin di Dieng dan kebetulan pada perjalanan sebelumnya saya pernah bersepeda menuruni Dieng dengan kondisi yang sama.

Sepeda pun perlahan kami kayuh melawati sedikit tanjakan lalu menurun. Hujan turun masih cukup lebat membuat kami harus betul-betul konsentrasi mengendalikan sepeda dan menahan dingin yang membuat tangan kami semakin gemetar. Terpaan air hujan menerjang wajah dan tangan kami serasa lusinan jarum dingin menusuk tak henti.

Belum lagi saya harus berjuang menahan laju sepeda dengan rem yang tidak pakem. Beberapa kali saya terpaksa harus berhenti karena rem sepeda saya panas dan daya cengkramnya tidak ada.

Namun demikian sama sekali tidak mengurangi rasa kagum kami menikmati pemandangan Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu dan Merapi dari lembah ini. Kebun kentang di kanan kiri jalan tersusun rapih memenuhi lembah diselingi pohon carica tanaman khas yang hanya ada di Dieng.

Kebun dan pemukiman warga yang silih berganti menjadi pemandangan menarik di jalur menuju Kota Wonosobo. Karena terlalu asiknya, tanpa terasa kami tiba di persimpangan menuju perkebunan teh Tambi. Om Jay, Om Roi dan Om David sudah menunggu tepat di tikungan. Om Ruly masih di belakang agak melambatkan laju sepedanya untuk lebih menikmati pemandangan.

Om Jay Menunggu

 

Jalur melalui Perkebunan Teh Tambi merupakan jalur alternatif menuju Kota Temanggung tanpa melalui Kota Wonosobo. Jalan raya Tambi merupakan rute panjang menanjak dengan gradien 18 hingga 22 derajat yang kami harus lalui hingga puncaknya. Letih lelah rasanya terbayar dengan indahnya pemandangan perkebunan teh yang ada sejak tahun 1865.

Di bagian awal tanjakan terdapat pabrik teh. Lalu setelah itu jalan mulus lurus mendaki curam membentang membelah perkebunan. Denyut jantung kembali terpacu seiring dengan semangat meskipun kondisi fisik kami yang mulai letih. Setelah tiba di Desa Sigedang kami berhenti sebentar sambil regrouping karena Om Ruly masih tertinggal cukup jauh.

Seperti biasanya, kami selalu menyapa ramah warga yang ada. Dari pembicaraan dengan warga,  kelihatannya puncak tanjakan ini sudah cukup dekat dari perkampungan ini. Setelah Om Ruly tiba dan istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan untuk menuntaskan sisa tanjakan.

Perkebunan sayur dan perbukitan dengan pohon pinus menarik perhatian kami meskipun jalan yang kami lalui semakin terjal. Namun demikian, rasanya kami hampir putus asa karena puncak tanjakan tidak kunjung nampak.

Kami menepi di pelataran sebuah rumah makan yang bertuliskan Teras Sindoro untuk sejenak minum dan berdiskusi apakah kami harus melanjutkan atau berputar arah. Sesudah beristirahat dan bersikusi, kami putuskan untuk tetap lanjutkan. Sisa rute menanjak ini harus kami tuntaskan tanpa menyerah.

Sepeda kami kayuh dengan sisa tenaga meskipun jalan menikung kian curam. Di sebelah kiri nampak rest area Mbotorawi Sikendil seakan menyapa ramah mengundang kami untuk berhenti lagi.

Namun kami tetap melaju hingga perlahan terlihat puncak tanjakan. Lega rasanya kami bisa lalui jalan terjal melewati Perkebunan Teh Tambi ini. Pos pendakian Gunung Sindoro terlihat di sisi kanan jalan tepat di tikungan yang berbelok ke kiri. Kami sempat berhenti sebentar sambil melihat aktifitas warga mengumpulkan aneka sayur hasil panen untuk segera dijual.

 

Om Jay Berjuang Menuju Puncak Tanjakan Tambi

 

Jalan menurun curam nampaknya sudah siap menanti kedatangan kami. Perlahan kami kayuh kembali sepeda menuruni perbukitan curam. Adrenaline terpacu namun kami tetap berhati-hati karena beberapa bagian jalan masih rusak dan sebagian ada perbaikan. Seperti biasa, saya bergelut dengan permasalahan rem.

Namun tidak menyurutkan untuk memacu kecepatan apalagi bila jarak pandang cukup jelas. Beberapa cafe dan tempat wisata menarik tersaji apik di jalur menurun ini seperti Sibajag Green Canyon.

Tepat di awal turunan sebelum Wapitt saya harus berhenti karena rem saya sudah terlalu panas dan membahayakan. Apalagi turunan di depan saya sangat panjang, terjal dan berbelok tajam berputar balik ke kanan di sisi jurang serta ada perbaikan jalan.

Demi keselamatan saya putuskan untuk berhenti dan menunun sepeda hingga titik aman saya bisa mengayuh kembali. Hal ini penting sekali bagi para pesepeda untuk tidak memaksakan diri apabila keadaan tidak memungkinkan.

Teman-teman lainnya sudah menunggu saya di bawah tepat di sebelah pengerjaan jalan. Sesudah rute kira-kira cukup aman untuk dilanjutkan, sepeda kami laju menuruni jalan mulus relatif mulus dan lurus dengan pemandangan lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing menuju Kota Temanggung.

Waktu sudah menunjukan pukul lima sore dan mentari sudah mulai menyingsing berganti sejuk udara sore menemani kami menikmati kota yang resmi berdiri sejak tanggal 10 November 1834 ini. Bagi saya rute di kota ini cukup familiar karena sering saya dan keluarga lalui ketika ke Yogyakarta dan kembali ke Jakarta di masa tol Jawa belum sepanjang saat ini. Dan pastinya cukup menyenangkan kali ini bisa bersepeda melalui kota ini.

Langit sudah semakin gelap dan badan kami pun mulai terasa letih. Demi keselamatan, kami menyalakan lampu depan dan belakang. Kendaraan-kendaraan besar dan kecil melewati kami menyisakan terpaan angin.

Memasuki daerah Kranggan, hati saya cukup lega. Artinya tidak seberapa jauh lagi kami akan sampai di lampu merah Secang. Meskipun cukup melelahkan, kami pun tiba di lampu merah simpang Secang.

Saya sempat menoleh wajah teman-teman yang juga lelah sambil tersenyum dan berujar “Kota Magelang sudah dekat lho.” Artinya sebentar lagi kita akan makan malam dan istirahat sejenak di Kota Magelang.

Perjalanan setelah lampu merah tadi menuju Kota Magelang cukup menyenangkan karena menurun dan lurus serta lebar. Kami hanya perlu berhati-hati dengan kendaraan-kendaraan besar yang melaju kencang di sisi kanan kami.

Maklum saja Jalan Raya Secang ini merupakan jalan utama yang menghubungkan Semarang dan Magelang. Berhubung rasa lapar mulai menghampiri, selepas gapura Kota Magelang kami makin laju menuju alun-alun Kota Magelang.

Naluri langsung mengarahkan kami ke sebuah warung makan kupat tahu Magelang yang legendaris di Jalan Tentara Pelajar di daerah Cacaban. Dan sekitar pukul tujuh malam, kami pun berhenti untuk melepaskan lelah dan makan malam di warung tersebut.

Makan Malam Di Salah Satu Kupat Tahu Legendaris Di Magelang

 

 

Di warung itu kami larut dalam kenikmatan hidangan dan berbotol-botol minuman ringan menghilangkan lapar, dahaga dan lelah. Dingin malam mulai menyapa lembut seiring rintik hujan yang mulai membasahi kota yang konon merupakan Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.

Rasanya enggan beranjak dari bangku kayu tua yang kami duduki di tengah alunan musik yang disajikan pengamen jalanan yang singgah. Kota ini makin malam rasanya makin menyandera kami dalam kenyamanan untuk tidak pergi.

Walaupun begitu kami tetap harus bergegas menuju Kota Yogyakarta. Lalu Om Ruly sebagai bendahara perjalanan kami dengan lugas segera menyelesaikan pembayaran makan malam kami di warung itu. Sekilas terdengar pembicaran pemilik warung pada salah satu karyawatinya untuk segera menutup warung karena malam itu ada undangan pengajian di rumah tetangganya.

Malam masih menyisahkan waktu dan jarak yang harus kami tempuh menuju Kota Yogyakarta. Raga bergelut dengan rasa letih mendambakan segera lelap di peraduan.

Lampu-lampu kota masih menyinari jalan menembus deraian air hujan yang terjun bebas ke bumi. Sepeda tetap kami kayuh tatkala mata kami tersamarkan oleh air hujan membasahi wajah kami.

Cipratan air jalanan dari ban ke tubuh kami menjadi penyemangat untuk tetap melaju kencang menuruni Jalan Raya Magelang. Tanpa terasa sudah melewati jembatan Sungai Elo.

Sejenak teringat beberapa tahun lalu sempat berarung jeram di sungai ini dengan rekan-rekan kantor saya. Dan tidak berapa jauh dari situ, kami pun tiba di Muntilan. Kota yang terkenal dengan jajanan khas tape ini sudah ada sejak tahun 1812. Jalan pendek membelah Kota Muntilan kami lalui hingga tiba di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta menyeberangi jembatan Sungai Krasak.

Malam makin larut dengan keringat bercampur air hujan memacu kami tetap mengayuh cepat melintasi Jalan Raya Magelang menuju Tugu Yogyakarta.

Sekitar pukul 21.30 kami pun tiba di Tugu Yogyakarta jantung kota pelajar ini. Rasa lega bercampur letih hinggap tatkala kami menyempatkan sejenak berfoto di ikon kota ini.

Setelah itu kami lanjut ke selatan menuju rumah Om Roi untuk bermalam. Rumah Om Roi berada di tengah Kota Yogyakarta, lokasi cukup strategis untuk kami berisitirahat dan melanjutkan perjalanan esok hari menuju Pacitan via Imogiri dan Wonosari. Meski letih, sebelum mandi dan beristirahat kami sempatkan untuk mencuci sepeda dan pakaian supaya lebih siap dipakai esok pagi.

Tiba di Tugu Yogyakarta

Selasa, 19 Oktober 2021 merupakan hari keempat perjalanan kami. Pagi cukup cerah menyambut kami dengan tubuh segar dan cukup beristirahat siap melanjutkan petualangan kami menuju Kota Pacitan.

Om Sastra salah satu anggota Cyclopath yang tinggal di Yogyakarta menyempatkan diri untuk datang. Dia berboncengan dengan anaknya bersepeda dari Pakem ke Pakualaman tempat kami menginap. Kehadiran Om Sastra membuat kami jadi makin semangat.

Apalagi beberapa dari kami sempat dipijat beliau untuk memulihkan otot-otot yang cidera. Setelah sarapan kue-kue dan mempersiapkan sepeda dan briefing, pukul 06.30 kami melaju ke arah timur kota untuk mencicipi Soto Kadipiro yang legendaris. Seusai mencicipi Soto Kadipiro, kami lanjutkan perjalanan ke selatan Kota Yogyakarta menyusuri jalan Imogiri menujur Wonosari.

Kami berpisah dengan Om Sastra di persimpangan Pojok Benteng. Dari situ menuju Imogiri kami lalui santai sambil menikmati pemandangan khas pinggir Kota Yogyakarta. Imogiri merupakan daerah yang terkenal dengan makam para raja keraton Yogyakarta. Juga terkenal sebagai salah satu destinasi kuliner sate klatak.

Lanjut memasuki daerah perbukitan, jalanan mulai menanjak. Tanjakan panjang ini menjadi santapan pertama yang menantang di hari keempat ini. Denyut jantung lagi-lagi harus kami pacu hingga ambang batas ditambah lagi panas mentari pagi itu. Pemandangan Bukit Bego di sebelah kiri jalan menjadi pemandangan yang menarik untuk kami nikmati sambil menahan asam laktat di otot-otot kaki.

Kami sempat satu kali berhenti untuk regrouping sebelum tiba di ujung tanjakan. Di ujung tanjakan Om Jay bahkan sempat merebahkan badan di atas aspal untuk sekedar melepas lelah.

Beberapa saat kemudian kami lanjutkan perjalanan melewati Mangunan. Daerah hutan pinus yang menjadi salah satu destinasi favorit di daerah ini. Sebelum tiba di Mangunan, kami melewati warung tiwul ayu Mbok Sum favorit saya.

Sayangnya, kami tidak bisa singgah karena masih kenyang mempertimbangkan waktu juga. Perjalanan dari Mangunan menuju Kota Wonosari sangat menyenangkan. Kami disuguhi jalur yang menurun dan menanjak terjal silih berganti.

Area perkebunan warga dan pedesaan dipadu dengan keramahan warga yang menyapa membuat kami hampir tidak merasakan lelah. Tanah berpadu dengan gugusan batuan kapur yang merupakan gugusan karang dasar laut di zaman purba mulai tampak.

Bahkan ada yang dijadikan rest area sederhana bagi yang melintas untuk beristirahat dan menikmati pemandangan. Sebelum tiba di Kota Wonosari, kami berhenti di sisi kiri jalan untuk makan di warung soto ayam sambil menikmati es dawet yang segar membuat letih dan dahaga kami sirna

Jalan Menuju Wonosari

Dan akhirnya kami pun tiba di persimpangan menuju Kota Wonosari. Kami berbelok ke kanan menuju pusat kota. Jalan lurus, lebar dan mulus ini kami nikmati dengan santai sambil menikmati pemandangan kota meskipun hari makin terik.

Kota yang terkenal dengan masakan khas sayur trancam ini terlihat lebih maju dari tiga tahun lalu terakhir kalinya saya singgahi.

Tiba di ujung Kota Wonosari, kami mengambil jalur ke arah Pacitan via Pracimantoro. Aspal mulus, lebar dan sepi dan terlihat masih gress menyambut kami.

Di sebelah timur terlihat bukit kapur yang dibelah. Saya jadi teringat spot yang mirip ini di Pantai Melasti di Pulau Bali. Jalanan mulus ini merupakan Jalan Lingkar Selatan yang nantinya diharapkan dapat menghubungkan kota-kota di jalur pantai selatan Jawa.

Saking senangnya kami dengan jalanan ini, kami hanya mengayuh santai. Dan ketika jalanan menurun memasuki daerah Pracimantoro, kami berteriak kegirangan.

Jalan ini layaknya surga bagi pesepeda. Sambil menikmati perjalanan, di kiri kanan jalan tampak area perkebunan warga. Bisa merasakan betapa gigihnya warga setempat memindahkan batu-batu karang di perkebunannya supaya lahannya bisa ditanami dengan baik. Lalu batu-batu itu dijadikan semacam pagar pembatas ladang.

Gugusan goa di perbukitan batu karang pun sesekali terlintas. Fenomena alam ini pun jadi topik diskusi yang menarik sambil mengayuh antara saya dengan Om David yang memang berlatar belakang profesi sebagai geologis.

Kami pun larut dalam menikmati pemandangan dan jalur yang menyenangkan dan tiba di persimpangan jalan dengan petunjuk arah ke kanan menuju Kota Pacitan dan ke kiri merupakan lanjutan Jalur Lingkar Selatan menuju Kota Solo.

Meskipun jalannya tidak sebagus jalur lintas pantai selatan, namun tetap menyenangkan untuk dilalui. Tanjakan panjang di depan kami menanti untuk dilalui.

Terlihat mobil truk membawa muatan cukup berat merayap berdampingan dengan kami. Raungan deru mesin truk berpacu seiring dengan denyut jantung kami yang kembali terpacu setelah santai menikmati jalanan menurun tadi.

Pemandangan Jalur Lingkar Selatan

 

Sore hari pun tiba dan mentari pun mulai perlahan kembali ke peraduannya. Melaju melewati perbukitan menuju perbatasan Provinsi Jawa Timur kala itu terasa lebih sunyi seiring dengan waktu sholat maghrib tiba.

Perkampungan yang kami lewati saat itu hanya terlihat satu dua rumah warga diselingi perkebunan dan rindangnya kebun pohon jati.  Lalu rintik hujan pun lirih kembali menghujam bumi membasahi jalan yang kami lalui.

Momen sunyi ini semakin membuat batin merasa makin dekat dengan Sang Pencipta dengan bersyukur dan merefleksikan diri. Betapa sebagai manusia tidak berdaya dihadapan Sang Pencipta meski sekuat apapun kita.

Larut melalui jalan sepi, sebuah gapura gelap tanpa penerangan terlihat megah di depan kami. Ya, benar ini adalah gapura bertuliskan selamat datang di Pacitan menandakan perbatasan Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah beberapa saat kami berhenti perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur di Desa Cemeng, Kecamatan Donorejo tersebut, kami lanjutkan mengayuh ke Kota Pacitan.

Cukup lama mengayuh ternyata kami tidak kunjung sampai juga. Saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 19.00, dan perut sudah terasa lapar. Namun demikian, kami tetap ingin makan besar nanti di Kota Pacitan.

Dalam benak kami sudah terbayang aneka hidangan laut khas Pacitan. Jadi, kami hanya berhenti sejenak di sebuah warung angkringan untuk sekedar makan hidangan ringan dan minum susu jahe hangat. Malam makin larut, kami tetap lanjutkan perjalanan melewati jalur Pringkuku.

Jalur ini cukup ekstrim dengan turunan curam yang panjang dan dikenal rawan kecelakaan. Akhirnya kami pun tiba di turunan Mloko yang curam dan berbahaya.

Butuh konsentrasi dan penerangan yang cukup untuk aman melalui jalan ini. Tuas rem kanan dan kiri bergantian saya tekan supaya piringan rem saya tidak terlalu panas.

Namun jalan panjang menurun ini pun belum juga berakhir ketika rem saya pun blong dan bahaya bila saya paksakan. Lampu mobil-mobil yang melintas menerangi jalan menikung makin curam ke kiri.

Naluri memutuskan untuk gunakan sepatu menghentikan laju sepeda supaya tidak terjadi hal-hal yang mencelakakan. Persis cara lama seperti masa kecil dulu ketika bersepeda tanpa rem.

Laju sepeda terhenti persis di puncak turunan. Lalu saya menunggu beberapa saat membiarkan piringan rem saya lebih dingin.

Perbatasan Jawa Tengah Dan Jawa Timur

Malam ini saya masih beruntung bisa selamat. Setelah sesaat menunggu rem dingin, kami lanjutkan menuju Kota Pacitan. Jalan mendatar menyambut kami memasuki kota kelahiran presiden RI ke-6 ini.

Suasana kota mulai kami rasakan meskipun malam itu aktivitas warga mulai sepi. Meskipun malam, namun bisa terlihat kota yang berdiri sejak tahun 1745 ini cukup tertata rapih.

Melintasi pusat kota dan pertokoan, kami menuju penginapan yang sebelumnya sudah Om Ruly hubungi. Sebuah penginapan bintang dua namun cukup bersih.

Cukup baik buat kami untuk beristirahat malam itu. Tak perlu menunggu lama, kami segera membagi kamar, mandi dan bersiap-siap untuk pergi sama-sama makan malam di bilangan Pantai Teleng Ria.

Suasana malam yang santai kami lalui sambil menikmati santapan aneka masakan bahari khas Pacitan diiringin suara deru ombak pantai selatan Jawa.

Larut dalam buaian malam Kota Pacitan, esok paginya letih pun sirna. Kami segera bersiap melanjutkan petualangan berikutnya menuju Kota Blitar.

Namun sayang sekali, Om Roi tidak bisa melanjutkan perjalanan dan harus kembali ke Yogyakarta lalu ke Jakarta karena mendadak ada tugas kantor.

Tinggalah saya, Om David, Om Ruly dan Om Jay melanjutkan perjalanan ini melalui Ponorogo. Rute ini relatif lebih jauh namun lebih menyenangkan dibandingkan melewati Trenggalek.

Setelah sarapan roti tawar dan teh manis yang disediakan pihak penginapan, kamu briefing dan berdoa untuk keselamatan di perjalanan. Perjalanan kami lanjutkan ke arah pinggir kota menuju Kota Ponorogo.

Aktivitas warga mulai terlihat ramai meski waktu masih menunjukkan pukul 06.15. Saya pun berinisiatif menawarkan rekan-rekan tim untuk sarapan makanan tradisional khas Pacitan.

Tidak butuh waktu lama, kami pun menemukan warung sederhana tepat di sisi kanan di pinggir jalan utama yang kami lalui. Warung ini terlihat sedang ramai dikunjungi pelanggannya.

Kami menepi dan memarkirkan sepeda dan langsung mendekati gerobak jualan. Si penjual merupakan sepasang suami istri yang menjajakan nasi pecel lengkap dengan aneka lauk pendukungnya yang menggugah selera.

Dengan Bahasa Jawa kami menyapa ibu penjual dan warga yang mengantri pesanan. Om David menjadi pusat perhatian karena mungkin jarang terlihat ada bule yang pernah mampir makan nasi pecel di warung itu. Nasi pecel dan telur dadar pun kami pesan untuk berempat.

Aneka sayur rebus segar dipadukan dengan kuah kacang bumbu pecel khas Pacitan nikmat sekali kami rasakan. Seakan memang sejiwa berpadu dengan nasi dan telur dadar ketika berada dalam mulut. Teh manis hangat pun menjadi penutup hidangan yang nikmat di pagi itu sebelum kami bergegas.

Sarapan di Warung Nasi Pecel Pacitan

Udara pagi masih sejuk mengiringi kayuhan kami meninggalkan Kota Pacitan. Sawah, perkebunan dan rumah warga tertata harmonis menggambarkan harmonisasi hubungan manusia dan alamnya di daerah ini. Jalan yang kami lalui melewati Djetis Kidul tepat di sisi Sungai Grindulu dengan bebatuan yang menarik perhatian saya.

Bahkan ada yang bewarna merah yang membuat saya kagum. Om David dan Om Ruly yang memang berlatar belakang sebagai geologis bahkan sempat berhenti dan mengambil contoh batuan lalu asik mendiskusikannya.

Rute ini menyuguhkan pemandangan bukit batu yang menarik dan kontur yang tidak terlalu berat untuk dilewati dengan bersepeda. Setelah melewati tugu perbatasan Pacitan dan Ponorogo persis di sisi kiri sebelum dua jembatan, kami melaju menurun ke arah Ponorogo melewati Silahung dan Balong.

Sebelum sampai di pusat Kota Ponorogo, kami berbelok ke kanan ke arah Kota Tulung Agung melewati jalan pedesaan untuk mencari jalan pintas ke jalan utama. Cuaca panas tidak menurunkan semangat kami untuk tetap melaju melintasi jalan rusak di Desa Balong.

Hingga memasuki Desa Tamansari, kami sampai di jalur utama Ponorogo menuju Kota Tulung Agung melalui Trenggalek. Rute tanjakan cukup panjang dan panas harus kami lalui perlahan menyusuri perbukitan.

Di awal rute ini tidak ada minimarket. Bahkan warung makan pun tidak kami temukan ada yang buka. Panas terik membuat saya memperlambat laju sepeda. Apalagi persediaan air minum yang saya bawa tidak banyak. Di ujung tanjakan yang cukup panjang, rute lalu menurun terjal dan di sebelah kanan terlihat megah Bendungan Tugu yang baru saja diresmikan oleh Bapak Jokowi Presiden Republik Indonesia.

Kami sempat berhenti sebentar di sebuah warung untuk makan siang dan mengisi perbekalan air minum. Melewati pinggir Kota Trenggalek menuju Kota Tulung Agung, jalan sudah agak mendatar.

Saya di posisi paling belakang menjaga ritme rombongan supaya tetap rapat melewati jalan lurus dan rata. Karena perbekalan minum kami sudah habis, kami menepi sejenak di sebuah minimarket.

Nampak seorang ibu menggunakan sepeda sedang menepi juga di minimarket yang sama. Ibu sederhana itu mengais sisa-sisa kardus kemasan untuk dapat dijual lagi membuat kami terkagum akan semangat ibu ini bejuang di tengahnya kerasnya kehidupan. Perjalanan ini membuat kami merasa lebih menghargai dan mensyukuri kehidupan.

 

Ibu Pesepeda yang Kami Temui di Sebuah Minimarket di Tulung Agung

Kota Tulung Agung hanya kami lewati daerah pinggir kotanya. Melewati kota ini, saya jadi teringat dengan dr. Thomas sahabat kami di grup sepeda GBK Senayan karena beliau putra asli kota ini.

Terlebih lagi ketika kami melintasi Rumah Sakit dr. Iskak tempat beliau sejak kecil biasa berobat. Sayang sekali kami tidak bisa menjelajah lebih lanjut kota dengan luas 1.056 km² dan dikenal sebagai penghasil batu marmer terbesar di Indonesia ini.

Dan karena hari sudah menjelang sore, kami lanjutkan melaju menuju Kota Blitar. Jalan yang relatif rata dan bagus membuat kami tanpa terasa sudah tiba di pintu masuk Kota Blitar.

Sekitar pukul 18.20 kami sudah memasuki gerbang pusat Kota Blitar. Kesan pertama yang saya rasakan, kota dikenal sebagai lokasi makam Bung Karno berada ini cukup rapih dan menarik untuk kami telusuri meskipun kota ini merupakan kota terkecil kedua di Provinsi Jawa Timur.

Menyusuri jalan yang cukup ramai diterangi lampu-lampu kota dan berbagai kendaraan yang melintas, kami berbelok ke kiri melewati jalan yang kecil namun tetap ramai menuju salah satu penginapan terkenal di kota ini.

Hotel Patria berdiri megah di kiri jalan dengan dua buah patung Ganesha di depannya menyambut kami. Biaya menginap di sini tidak terlalu mahal, apalagi kami satu kamar bisa tempati berdua. Malam itu saya satu kamar dengan Om Jay. Dan seperti biasa kami berberes pakaian dan mandi, lalu mencuci baju untuk dipakai lagi esok pagi.

Perut saya ternyata terasa sudah mulai lapar, dan teman-teman sepertinya sudah lelah dan tidak berminat untuk diajak jalan-jalan di sekitar hotel untuk sekedar mencicipi makanan khas Kota Blitar.

Namun, saya tetap melangkah menyusuri sudut-sudut kota sekitar hotel. Awalnya ke arah timur, lalu berbalik ke arah barat setelah tidak menemukan kuliner yang saya cari.

Lalu di sebelah kiri terlihat ada sebuah lapangan parkir yang agak sepi dan dikelilingi deretan toko-toko kecil salah satunya yang saya ingat adalah Toko Sukardi Buah.

Sebuah warung tenda sederhana dengan lampu temaram menarik perhatian saya untuk singgah. Tertulis di kain lusuh Lontong Tahu Blitar di sisi warung itu. Ibu paruh baya menyapa dan menanyakan hidangan apa yang mau saya pesan.

Tentunya saya pesan lontong tahu dan segelas teh tawar hangat.  Hidangan sederhana yang terdiri dari potongan lontong, tahu goreng, telur dadar, kacang goreng, tauge, irisan daun seledri dan bumbu khas yang terasa ada unsur asam jawa serta kerupuk membuat saya amat terkesan dengan kombinasi cita rasa yang dirasakan yaitu sederhana dan nikmat.

Malam masih belum terlalu larut, setelah makan saya kembali ke hotel menemui teman-teman dan menemani mereka makan malam sambil membicarakan cerita perjalanan hari itu. Kira-kira pukul 22.00, kami kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.

Lontong Tahu Kota Blitar

Jam masih menunjukan pukul 05.00 pagi. Raga seakan enggan beranjak dari peraduan. Namun semangat untuk melanjutkan petualangan menuju Kota Jember lebih mendominasi dari rasa letih setelah lima hari bersepeda. Pukul 06.00 seperti biasa kami sudah berkumpul dan briefing lalu berangkat.

Menu hari itu adalah dari Kota Blitar menuju Kota Jember melewati Kabupaten Malang dan Lumajang. Kami menyusuri yang berpenduduk sekitar 149 ribu jiwa ini ke arah timur menuju Malang melewati pusat Kota Blitar.

Saya bersama Om David di depan mengayuh santai di jalan landai sambil berbagi kisah tentang keluarga. Dan pagi itu kami berempat memang tidak mengayuh terlalu cepat karena faktor fisik sudah mulai lelah dan cuaca pagi itu pun terasa lebih panas.

Selang tiga jam dari Kota Blitar, kami pun berhenti beristirahat di salah satu minimarket. Seperti biasa, yang kami cari pasti minuman dingin dan kopi supaya tidak mengantuk. Hari makin terik, namun kami putuskan tidak berlama-lama untuk beristirahat. Lambat laun rute menuju Kabupaten Malang kami rasakan semakin menanjak.

Memasuki Gandusari perbatasan Blitar dan Malang, jalan meliuk sedikit menanjak menyambut kedatangan kami. Rindang pepohonan membawa kesejukan bagi kami melalui Jalan Raya Sidodadi di Kecamatan Ngantang. Jalan berliku menanjak tanpa terasa kami pun lewati hingga di pertigaan terlihat papan petunjuk PLTA Sutami.

Pembangkit Listrik Tenaga Air berkapasitas 3×35 Megawatt ini dibangun pada tahun 1973 di kawasan waduk Karangkates dan menjadi PLTA terbesar di Provinsi Jawa Timur.  Lantas, kami lanjutkan meniti jalan yang masih menanjak. Tiga cerobong besar menjulang megah bisa kami lihat dari perbukitan di sisi kanan jalan yang kami lalui.

 

Di Jalan Masuk PLTA Sutami, Malang

Selanjutnya kami melalui Pasar Sumber Pucung menuju Kepanjen. Terakhir kali saya ke kota Kabupaten Malang ini tahun 2006 dan suasananya terasa tidak jauh berbeda saat ini. Dari alun-alun kota kami melaju ke timur, ke arah Gondanglegi di tengah terik matahari yang makin menampakan intensitasnya.

Dan meski perut sudah mulai terasa lapar, kami sepakat untuk menahan lapar sejenak hingga tiba di warung makan di daerah Dampit yang menurut kabar dari Om Ruly menunya cukup enak.

Akhirnya kami pun tiba di sebuah warung kecil sederhana bertuliskan Warung Ijo di sisi kiri jalan. Ibu separuh baya menyambut kami ramah dan mempersilahkan duduk. Teras sejuk warung ini membuat kami urung makan siang malah rebahan. Minuman dingin elektrolit menjadi sasaran perhatian kami kemudian.

Sambil rebahan kami berteduh di teras warung ditemani minuman dingin elektrolit dan es teh manis. Lumayan juga beberapa saat kami rebahan sambil menurunkan suhu tubuh, lantas kami memesan hidangan.

Berbagai hidangan sederhana seperti sayur bayam, tempe goreng, ayam goreng dan sambel sudah cukup buat kami. Siang itu kami kembali bersyukur dapat menikmati hidangan sederhana yang sehat, lezat dan harganya pun murah.

Di Warung Ijo, Malang

Matahari masih tetap memancarkan hangatnya ketika kami beranjak dari Warung Ijo menuju Lumajang. Melewati Pasar Kaligadung hingga Ampel Gading, rute ini masih relatif naik turun dan tidak terlalu berkelok-kelok. Namun memasuki Desa Sidorenggo jalan makin menanjak dan hawa sejuk dari lereng Gunung Semeru mulai terasa.

Dan tidak terlalu jauh dari desa itu, kami memasuki perbatasan Malang dan Lumajang. Sekitar 5 kilometer dari perbatasan, kami dapati gerbang masuk menuju Air Terjun Tumpak Sewu. Tepat di Desa Tamanayu, Om Ruly meminta kami berhenti. Ternyata GPS kami menunjukan bahwa kami sudah menempuh jarak tepat 1000 km saat tiba di desa tersebut.

Untuk mengabadikannya, kami membuat video singkat tentang momen itu. Rasanya masih cukup panjang jalan Kecamatan Pronojiwo ini harus kami lalui. Meski demikian, rasanya kami begitu menikmati perjalanan ini.

Di sebuah warung cukup besar, kami menepi sejenak untuk minum. Kami melihat gereja berdiri megah dipisahkan jalan berhadapan dengan masjid megah yang sedang dibangun. Harmonisasi umat beragama ini membuat kami kagum.

Beranjak dari warung tersebut, kami lanjutkan menuju ke Jembatan Geladak Perak di Piket Nol. Ini salah satu ikon Kabupaten Lumajang dan salah satu alasan mengapa kami melewati jalur ini.

Jalan menuju ke lokasi ini harus kami tempuh melewati jalan berliku dengan pepohonan rindang. Alunan angin menerpa dedaunan hutan seolah menyapa dan menyambut kedatangan kami.

Di depan mata kami pun membentang jembatan megah sepanjang 130 meter dengan pemandangan aliran Sungai Besuk Sat dari lembah Gunung Semeru.

Di sisinya membentang pula jembatan yang terkenal juga dengan nama jembatan Gladak Perak yang dibangun pada jaman kolonial Belanda sejak tahun 1925 hingga 1940.

Berfoto di atas destinasi bersejarah ini pastinya tidak kami lewatkan. Kedua jembatan tinggi menjulang menghubungkan dua lembah curam yang dibelah oleh sungai aliran lahar Gunung Semeru.

Kendaraan-kendaraan berat terlihat beralu lalang membawa material galian batu dan pasir melintasi jalan utama yang menghubungkan Malang dan Lumajang ini. Alam dengan segala kebaikannya menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar Piket Nol ini. Sayangnya ketika cerita ini ditulis, jembatan ini sudah luluh lantak diterjang lahar yang disemburkan Gunung Semeru pada 7 Januari 2022.

Di Jembatan Piket Nol, Lumajang

Jalan menurun panjang dan berkelok kemudian harus kami lalui kemudian. Kami harus berhati-hati menjaga jarak dengan kendaraan-kendaraan berat yang menurun lambat dan dari arah sebaliknya pun merangkak lambat. Meskipun begitu kami tetap melaju kencang memacu adrenaline.

Hujan rintik dan awan mulai gelap dan di depan kami ada beberapa bagian jalan yang berlubang dan berlumpur. Kira-kira 2 km dari jalan berlumpur itu, saya berhenti menunggu tiga rekan yang lain di belakang.

Sekitar lima menit menunggu, satu persatu Om David, Om Ruly dan Om Jay pun tiba. Om Jay bercerita bahwa tadi dia sempat dimintakan uang oleh pemuda-pemuda yang ada di jalan rusak itu. Saya kaget juga dan tidak menyangka penduduk lokal yang terkenal ramah ada juga yang berperilaku tidak terpuji.

Hari makin sore dan mulai gelap saat kami melintasi Kecamatan Pasirian dan Kecamatan Tempeh, kami belum juga sampai di Kota Lumajang.

Rencananya kami akan potong jalur melewati Jalan Lintas Timur untuk mempersingkat waktu tempuh tanpa melalui pusat Kota Lumajang. Menjelang pukul 19.00, kami putuskan untuk makan malam dulu, karena kuatir di rute yang akan kami lalui nanti tidak tersedia warung makan.

Ayam geprek menjadi pilihan terbaik malam itu. Lantas kami berhenti sejenak untuk istirahat dan makan malam. Usai perut kami terisi, perjalanan kami lanjutkan. Jalan agak menurun dan makin banyak kami temui kendaraan-kendaraan besar mengangkut pasir dan batu yang melintas.

Om Ruly mengisyaratkan untuk kami siap-siap berbelok ke kanan. Sempat kami hampir salah jalan, namun untung sempat bertanya pada salah seorang warga yang melintas.

Jalan yang kami lalui lebih kecil dan kondisinya kurang bagus. Banyak lubang dan menyulitkan untuk dilalui dengan penerangan lampu sepeda kami. Saya putuskan untuk jalan beriringan dan pelan-pelan.

Posisi saya paling depan, lalu Om Jay, Om David dan Om Ruly. Kami melaju di kecepatan 20 km/jam hingga 25 km/jam supaya tidak terlalu malam juga nanti tiba di Kota Jember. Kira-kira baru 2 km kami melaju, terdengar suara ledakan cukup keras di belakang. Saya menoleh sejenak dan berhenti sambil mengarahkan lampu sepeda saya ke Om Jay.

Ternyata Om Jay mengalami masalah dengan sepedanya. Ban depan dan belakang keduanya meletus saat melintasi jalan berlubang. Untungnya Pak Mulya tidak jauh dari kami di belakang.

Demi keselamatan, Om Jay dan sepedanya kami sarankan untuk dievakuasi ke mobil Pak Mulya. Sisa perjalanan ke Kota Jember dijalani saya, Om David dan Om Ruly.

Kami bertiga berjalan beriringan berganti-gantian di depan membelah angina supaya tidak terlalu lelah. Pada suatu daerah saya cukup kaget karena membaca papan nama daerah Jombang.

Sempat saya berpikir kami salah arah ke Kabupaten Jombang. Tapi ternyata kami baru tahu bahwa di Jember ada juga nama daerah Jombang. Salah satu kecamatan  di barat daya Kabupaten Jember.

Memasuki Kota Jember, mulai terlihat pusat perbelanjaan besar dan masjid raya. Malam itu hujan sudah reda sehingga kami bisa lebih menikmati suasana kota terbesar di Jawa Timur dan terkenal sebagai salah satu penghasil tembakau sejak jaman kolonial Belanda.

Om Ruly di depan memandu kami dengan GPS untuk mencari tempat penginapan ke arah timur kota. Melewati Jembatan Geladak Kembar lalu kami berbelok ke kiri melintasi SMAN 1 Jember. Kira-kira 1 km dari situ, kami berbelok ke kanan masuk ke Jalan Doho.

Tiba di penginapan Doho Homestay, rasa lelah tiba-tiba makin menjadi dan ingin segera beristirahat. Penginapan ini cukup bagus, bersih dan harganya pun lumayan murah.

Setelah registrasi di bagian receptionist, sepeda kami parkirkan di dekat pos satpam supaya aman dan kami ikat dengan pengaman. Lalu kami bergegas naik ke kamar masing-masing.

Saya dan Om Jay kembali tinggal satu kamar malam itu. Setelah mandi, saya sempatkan untuk ngobrol sejenak dengan Om David, Om Jay dan Om Ruly membahas perjalanan hari itu dan rute esok hari sambil menikmati minuman dingin dan malam Kota Jember dari teras penginapan.

 

Santai Di Teras Doho Homestay

 

Pagi di Kota Jember cukup cerah, dan udara segar yang menyeruak melalui pepohonan di penginapan menyambut hari terakhir perjalanan kami.

Rasa letih yang sudah hilang setelah beristirahat berganti kesegaran dan semangat baru untuk menyelesaikan penghujung rute ini. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sarapan dulu supaya lebih fit.

Om Jay memutuskan untuk bergabung kembali melanjutkan perjalanan. Kami pun lantas bahu-membahu membantu beliau mengganti ban dalam sepedanya.

Kebetulan Om David membawa dua ban dalam cadangan yang ukurannya sama dengan ban sepeda Om Jay. Setelah itu, kami briefing dan berdoa sebelum memulai perjalanan.

Beriringan kami mengayuh keluar dari Jalan Doho berbelok ke kanan ke arah Banyuwangi. Kota Jember pagi itu sudah ramai dengan hiruk pikuk aktifitas warga.

Jalan sudah mulai ramai meski waktu masih masih menunjukan pukul 07.00 pagi dan cuaca sudah mulai terik. Tanjakan mulai kami rasakan ketika memasuki Desa Sempolan. Seperti yang sudah, kami menanjak beriringan dengan truk dengan muatan hasil laut dan hasil perkebunan yang akan dikirim menuju Banyuwangi.

Tiba di kawasan wisata pinus Sidomulyo, hawa hutan pinus membawa kesejukan. Beberapa warung makan dengan menu menggugah selera nampak pula di sisi jalan. Setelah itu kami mulai memasuki kawasan Alas Gumitir. Rute legendaris yang konon menyimpan kisah-kisah misteri.

Pepohonan kopi arabica nampak dibudidayakan di sela-sela pohon pinus menjulang di kedua sisi jalan yang meliuk menanjak dengan tikungan-tikungan tajam. Laju kami sempat terhenti karena ada perbaikan jalan.

Kami harus bergantian melintas dengan pengguna jalan lain dari arah sebaliknya. Lalu kami lanjutkan menanjak hingga puncak Gumitir. Tanjakan terakhir touring kali ini bisa kami lalui dengan santai sambil lebih menikmati udara segar dan pemandangan asri kawasan Alas Gumitir.

Sesampainya di puncak Gumitir, jalan mulai menurun cukup curam. Dari arah sebaliknya, truk gandeng tua penuh dengan muatan tebu terlihat terengah-engah merayap diiringi rangkaian panjang kendaraan-kendaraan di belakang menunggu kesempatan untuk melewatinya.

Turunan panjang dan meliuk selanjutnya menjadi hiburan kami. Asik menikmati jalan menurun, kami tiba di monumen patung Gandrung karya perupa patung terkenal I Wayan Sastra. Tidak lupa pula kami sempatkan untuk berfoto di ikon terkenal Banyuwangi tersebut.

Tiba Di Monumen Patung Penari Gandrung, Banyuwangi

Sadar kami sudah memasuki daerah Kabupaten Banyuwangi, rasa letih pun terasa berkurang berganti semangat sebentar lagi kami sampai tujuan.

Sepeda kami laju menurun melewati Kecamatan Kalibaru. Setelah turunan, kali ini jalan benar-benar rata. Di kiri jalan warung yang menjajakan kelapa muda segar seakan mengajak kami untuk sejenak singgah. Kami pun singgah di salah satu warung untuk meminum kelapa muda melepaskan dahaga.

Satu persatu kelapa muda dikupas dan disajikan oleh sepasang suami istri penjual. Dan selanjutnya kami menikmati segarnya kelapa seraya beristirahat dan bercengkrama dengan si penjual yang menanyakan asal dan tujuan kami yang membuat beliau terheran. Puas menikmati kelapa muda, saya minta ijin pemilik warung ke toilet untuk buang air kecil.

Saat berjalan kembali ke depan warung, saya terkaget melihat seorang ibu terbaring lemah di atas tempat tidur seadanya tanpa kasur di ruangan dengan pencahayaan seadanya tanpa lampu.

Pelan-pelan saya menghampiri ibu itu, dan istri si pemilik warung pun muncul dan menghampiri saya seraya berkata lirih bahwa yang terbaring itu ibunya. Beliau sudah sakit cukup lama dan hanya bisa terbaring lemah akibat sakit tulang yang dideritanya.

Naluri saya untuk menolong pun muncul walaupun hanya bisa mendoakan. Kemudian saya minta ijin pada ibu itu untuk berdoa di samping beliau. Karena sejatinya perjalanan ini bukan hanya menerima dan menikmati hal yang baik dari Yang Maha Kuasa, namun pula memberikan hal yang baik bagi sesama.

Tidak lama kami berhenti di warung kelapa muda, kami lanjutkan perjalanan ke arah timur Banyuwangi lalu masuk ke Kecamatan Glenmore dengan karakter dataran tinggi dan sejuk yang merupakan lereng Gunung Raung.

Nama daerah ini menarik dan tidak lazim dipakai sebagai penamaan daerah di Pulau Jawa. Konon penamaan berasal dari sebuah perkebunan tembakau yang dinamai Glenmore milik seseorang berkebangsaan Inggris, Ros Taylor sejak tahun 1910. Kebetulan juga waktu sudah makin siang dan kami sudah mulai lapar.

Tiba di Kecamatan Genteng, saya memberi isyarat pada teman-teman untuk menepi ke kanan menuju warung makan yang cukup menarik perhatian saya karena terlihat masih baru dan bersih yang bertuliskan Warung Bunda.

Pecel, nasi rawon, tempe goreng, peyek dan telur dadar menjadi pilihan menu menarik buat kami. Tidak lupa pula kami memesan minuman ringan temu lawak khas daerah itu juga.

Minuman yang mirip dengan apa yang pernah kami minum waktu bersepeda menuju Pabangbon di Bogor, Jawa Barat. Tidak perlu menunggu lama, hidangan yang kami pesan pun tiba dan langsung kami santap.

Bumbu pecal khas Banyuwangi berpadu dengan aneka sayur rebus dan tempe goreng menghasilkan harmonisasi yang sempurna. Bahkan Om David berujar, “this is very good.”

Sementara teman-teman yang lain bersiap melanjutkan perjalanan selepas makan siang yang sederhana namun nikmat, saya menyempatkan diri menghampiri objek menarik di dekat warung makan itu. Adalah tugu Desa Setail, yang bila diucapkan seolah berasal dari kata “style”. Satu hal lagi yang unik saya temukan di perjalanan ini.

Nama Desa Yang Unik di Kecamatan Glenmore, Banyuwangi

Sisa perjalanan menuju pelabuhan penyeberangan Ketapang masih sekitar 50 km lagi. Kami berhara bisa tiba sekitar pukul empat sore.

Kebetulan rute menuju ke Pelabuhan Penyeberangan Ketapang pun relatif menurun meskipun cuaca terasa makin terik kala itu sepeda kami laju cukup kencang.

Saya rasakan semangat dari teman-teman juga semakin tinggi ketika kami mulai memasuki kota Banyuwangi. Pasar Rogojampi masih ramai dengan hiruk-pikuknya. Pasar paling ramai yang kami lihat hari itu setelah bersepeda dari Kota Jember. Sesudah pasar, kami lanjut lurus mengikuti arah petunjuk menuju Kota Banyuwangi.

Hotel Kokoon terlihat megah di sisi kiri jalan mengingatkan saya pada rekan-rekan tempat saya kerja di perusahan yang dulu kabarnya sering menginap di hotel saat mengerjakan proyek panas bumi di Ijen.

Sesampainya di persimpangan Warung Biru, kami berbelok ke kanan ke arah Pantai Boom karena rekayasa lalu lintas yang membuat arus lalu lintas menjadi satu arah.

Memasuki kota di ujung timur Pulau Jawa yang terkenal dengan makanan khasnya yang dinamakan Sego Tempong ini terasa dinamika perekonomiannya cukup bagus dari sektor pariwisata dengan adanya banyak penginapan bagus serta rumah makan dengan aneka menu khas hasil laut.

Pastinya saya akan kembali ke kota ini untuk menjelalah lebih lanjut objek wisata dan kulinernya.

Dari Kota Banyuwangi menuju Pelabuhan Ketapang, jalan tidak terlalu berat kami lalui karena menurun. Sehingga kami bisa menikmati suasana sore hari dengan angin laut yang berhembus dari sisi kanan kami.

Dan atas kemurahan Yang Maha Kuasa pukul 15.50 kami semua bisa tiba pelabuhan Ketapang. Kami beristirahat sebentar dan berfoto.

Lalu kami melakukan tes antigen sebagai syarat diperbolehkan menyeberang ke Pulau Bali di tengah palgebluk Covid-19. Sekitar pukul enam sore, kapal kami sudah lepas sauh menuju Pulau Bali.

Di sebelah timur terlihat gemerlap lampu Pulau Bali seakan menanti kami singgahi segera. Waktu berlalu kami isi dengan bersenda gurau sambil menikmati seduhan mie instan ditemani angin malam melepas letih di antara Pulau Jawa dan Pulau Bali setelah tujuh hari bersepeda.

Sekitar dua jam berselang, kapal kami lego jangkar dan merapat dengan selamat di Pelabuhan Gilimanuk, Pulau Bali. Malam itu kami semua mendarat dengan selamat di Pulau Dewata. Rasa letih hilang berganti bahagia serta syukur.

 

 

Tiba di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Banyuwangi

Bukan kuat dan gagah kami, namun semua karena kehendak Yang Maha Kuasa. Bagian kami hanya menjalankan guratan perjalanan dalam algoritma kehidupan dengan bijak memaknainya.

Jakarta, 23 Maret 2022

Oleh: Vary Situmorang

 

 

Viar Orion, Sepeda Listrik Lipat Compact Urban Modern